OPINI

Waspada Buzzer Pilkada

MENYOROTI fenomena Pilkada Kalimantan Tengah mendatang. Nyatanya, telah  menuntun terjadinya situasi saling perang di media sosial. Layaknya diketahui, media sosial dikenal sebagai wadah dalam mengakomodir dan memberikan bentuk framing terhadap calon yang diusung. Konsekuensi ini merupakan tindak lanjut dari alat kampanye. Selayaknya, diketahui kampanye diartikan sebagai sifat membujuk dengan rangkaian tindakan komunikasi, digunakan untuk menarik simpatisan dalam rangka mendukung calon yang didukung.

Meskipun begitu, situasi kampanye Kalimantan Tengah bila disoroti pada praktik buzzer  begitu mengudara, khususnya menggunakan akun anonim alias akun palsu. Kini, kegiatan buzzer tidak terbatas hanya memposting, kendatipula menjalankan campaign dan rangkaian informasi lanjut kepada follower. Layaknya sebagai sebuah brand ambassador para buzzer perlu mengenali keinginan yang ingin dijangkau dan dilihat oleh pemegang media dalam hal ini konstituen. Tak ayal wujud komunikasi yang ditimbulkan dapat berupa black campaign sampai dengan negaif campaign.

Perlu dicermati, fenomena buzzer memiliki dampak positif dan negatif teruntuk pelaksanaan pendewasaan politik. Hal negatif berkaitan dengan upaya manipulasi informasi fiktif yang tidak terkendali. Dewasa ini, belum adanya aturan khusus yang mengatur tentang cara kerja buzzer politik. Ini juga disebabkan para buzzer sebagian besar memiliki akun anonim (akun siluman) yang merahasiakan identitas mereka. Sehingga sulit bagi aparat penegak hukum untuk melacak keberadaannya. Meski bisa saja, para pelakunya di jerat dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Surat Edaran tentang Ujaran Kebencian atau Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang larangan menyebarkan kampanye negatif. Meskipun kerja buzzer yang semakin masif pada Pilkada Kalten kali ini.

Hendaknya, masyarakat Kalimantan Tengah tetaplah harus memiliki pendirian dalam menetapkan pasangan calon yang diinginkan. Masyarakat tidak terpengaruh dan langsung percaya dengan pesan-pesan buzzer yang cenderung menjatuhkan pasangan calon tertentu, hingga pada akhirnya terlibat dalam konflik antar pendukung calon pasangan yang berkepanjangan di media sosial.

Dengan  demikian, perlu dipahami peran buzzer adalah rangkaian pola yang telah terrbentuk dan menjadi sebuah sistem, mengakui keberadaannya adalah  wujud pendewasaan politik. Secara tidak langsung buzzer juga telah memberikan pengaruh pada peningkatan kesadararan politik atau lebih kita pahami sebagai melek politik. Buzzer tidak sepenuhnya negatif, kadangpula buzzer yang merupakan mayoritas sebuah kelompok berupaya mendongkrak kampanye positif untuk disebarluaskan secara massif perihal calon yang diusung. Olehnya, fenomena buzzer tidak perlu dikhawatirkan, namun waspada terhadap sebuah pemberitaan perlu untuk diperhatikan. Kemunculan buzzer merupakan konsekuensi hubungan peran media sosial . dewasa ini telah memberikan ruang baru dalam studi demokrasi. Model demokrasi inilah yang dinamakan sebagai demokrasi digital. Dalam perjalanannya, diidentifikasikan sebagai pemanfaatan teknologi komunikasi digital guna memajukan partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi. Momentum inilah yang perlu dikuatkan dan diberdayakan lebih lanjut.    (*)

Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum UII

Related Articles

Back to top button