BeritaOPINI

Maraknya Perilaku Self Harm Pada Remaja

Oleh; Suzana

PERILAKU self-harm atau menyakiti diri sendiri untuk mengatasi tekanan emosional atau rasa sakit secara emosional merupakan masalah kesehatan mental yang serius dan banyak terjadi dikalangan remaja. Perilaku ini dapat mengarah pada perilaku bunuh diri meskipun individu tidak berniat untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Masa remaja merupakan masa di mana seseorang berada dalam masa yang penuh konflik, hal ini terjadi karena perubahan bentuk pada tubuh, pola perilaku, dan peran sosial (Hurlock, 2006). Pada masa inilah individu dituntut untuk dapat beradaptasi atas segala perubahan yang dapat meningkatkan tekanan dan stres pada individu tersebut. Disamping berproses mencapai tugas perkembangan untuk menemukan identitas diri, remaja generasi Z mengalami tantangan besar yang sangat berbeda dari generasi lain sebelumnya berupa perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat. Kemajuan tekologi informasi ternyata menyebabkan menurunnya tingkat interaksi sosial secara langsung (offline) dimana banyak remaja merasakan kesepian jiwa serta menurunnya ketahanan dan resiliensi dibanding generasi sebelumnya yang pada akhirnya berpotensi pada munculnya frustrasi serta perilaku berbahaya (Haryadi, 2019).
Dikutip dari pernyataan dokter spesialis kesehatan jiwa di RSUD dr Soetomo, Dr. dr. Yunias Setiawati SpKJ (K) menyampaikan bahwa dalam seminggu rata-rata sepuluh pasien remaja datang dalam kondisi sudah menggores tangan, mencakar, ataupun membenturkan diri ke tembok. Para remaja tersebut rata-rata berusia 13-15 tahun (Ginanjar, 2019).
Para pelaku self-harm merupakan individu yang sulit menceritakan masalahnya kepada orang lain. Para pelaku ini biasanya sangat bisa menyembunyikan apa yang ia rasakan, di luar mereka tampak bahagia, ceria, dan baik-baik saja. Tetapi, saat sendiri mereka merasa sangat hancur.
Dalam kondisi tertekan, menyakiti diri sendiri menjadi satu-satunya pilihan yang mereka lakukan agar beban rasa sakit psikis berpindah pada bagian tubuh yang disakiti karena rasa sakit yang terjadi secara fisik lebih mudah dikontrol dan diatasi (Stanicke, Haavin, Gullestad, 2018).
Faktor yang menyebabkan individu melakukan self-harm adalah faktor kurangnya kemampuan problem solving dan pengelolaan emosi, mengalami trauma di masa kecil, kurangnya komunikasi dengan keluarga terutama orang tua, tidak ada keharmonisan atau kehangatan dalam keluarga, permasalahan yang terjadi di sekolah, permasalahan dalam hubungan percintaan, teman, kejadian buruk yang pernah dialami dan stres dalam menjalani kehidupan (Whitlock, 2009; Jans dkk, 2012).
Menurut Yunias, penyebab paling sering adalah trauma masa kecil. Di mana saat masa anak-anak individu tersebut sering dimarah-marahi, dibentak, bahkan mendapat perlakuan kekerasan fisik sehingga anak mulai menarik diri dan menyendiri.
Secara tidak langsung perilaku orang tua yang melarang anaknya menangis juga dapat membuat anak tersebut tidak dapat mengekspresikan dan menerima emosi negatif yang timbul. Pemicu lainnya adalah adanya labeling dari orang tua ataupun orang sekitar. “ Misalnya, mengatakan anak tidak berguna, anak bodoh, anak tidak tahu diri”. Sehingga membuat anak atau individu tersebut tertanam dalam alam bawah sadarnyanya bahwa ia bukan manusia yang berharga atau dihargai keberadaannya.
Selain itu, pada era digital ini pemicu depresi dapat ditimbul dari penggunaan media sosial. Remaja perempuan sering depresi dan mulai mengalami insecure karena membanding-bandingkan diri dengan yang lain di media sosial.
Hal pertama yang dilakukan untuk mengatasi self-harm adalah melalui pendekatan keagamaan dengan menjalani ibadah dengan penuh kekhusukan (Psikolog Nurafni). Kemudian, mencari tahu penyebab dan individu tersebut haruslah sadar bahwa yang ia lakukan untuk melampiaskan emosi negatifnya itu salah dan dapat membahayakan dirinya sendiri. Setelah itu, berbicaralah dengan orang yang paling dipercaya dan membuat individu itu merasa nyaman menceritakan apa yang ia alami. Pelaku self-harm juga dapat mengonsultasikan masalahnya dengan psikolog. Kemudian, pelaku harus mencari cara lain dalam melampiaskan perasaannya. Bisa dengan menulis, menggambar, bernyanyi, olahraga, dan mendengarkan lagu yang sesuai dengan perasaannya saat itu. Jika belum dapat tenang, maka bisa mandi air hangat dan memijat leher (sehatq.com).
Hal yang dapat dilakukan oleh orang sekitar baik di rumah maupun lingkungan sekolah adalah dengan selalu memberikan dukungan, lebih peka, menciptakan suasana nyaman, dan cobalah untuk melakukan deep talk karena dengan berkomunikasi secara mendalam dapat meredakan emosi dan membuatnya ingin membuka diri sehingga individu tersebut merasa tidak menanggung masalahnya sendiri (Yunias). Dengan demikian, diharapkan kedepannya individu tersebut dapat menjadi remaja yang terbuka dan tangguh yang sehat fisik dan mentalnya.(*)

https://kalteng.co

*) Penulis adalah mahasiswa asal Sampit yang kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Related Articles

Back to top button