KALTENG.CO-Dinamika internal di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belakangan ini tengah menjadi sorotan tajam. Polemik kian memanas setelah munculnya desakan agar Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya mundur dari jabatannya.
ituasi ini sontak memicu kegaduhan dan perdebatan serius di tengah kalangan Nahdliyin, komunitas besar yang menaungi NU.
Seorang akademisi sekaligus ulama muda NU yang kini berdomisili di Australia, Nadirsyah Hosen atau yang akrab disapa Gus Nadir, turun tangan memberikan pandangan kritis. Menurut Gus Nadir, organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini sedang menghadapi persoalan yang sangat serius, terutama menyangkut disharmoni di level pucuk pimpinan.
🔥 Konflik Pimpinan Inti: Mesin Organisasi yang “Mati dan Karatan”
Dalam kritik terbukanya yang disampaikan melalui media sosial, Gus Nadir menyoroti adanya konflik internal yang parah, yang dinilai telah membuat roda organisasi PBNU berjalan tidak semestinya, bahkan terancam macet total.
Pusat ketidakharmonisan, menurut Gus Nadir, melibatkan hubungan antara Gus Yahya dengan sejumlah pengurus inti. Ia secara terang-terangan menyebut bahwa hubungan antara Ketua Umum dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU Saifullah Yusuf alias Gus Ipul dan Bendahara Umum (Bendum) Gudfan Arif Ghofur sudah lama tidak sejalan.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidakharmonisan yang juga disebut merembet ke hubungan antara Gus Yahya dengan pimpinan tertinggi Syuriyah, yakni Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar.
“Jam’iyyah ini sedang berjalan terbalik. Ketua Umum berkonflik dengan Sekjen dan Bendum. Ketua Umum juga tidak akur dengan Rais ‘Am,” tulis Gus Nadir dalam unggahan di Instagram, Minggu (23/11/2025).
Ketidakharmonisan ini, lanjutnya, secara fundamental telah menghambat sinergi organisasi yang seharusnya berjalan secara kolektif dan berlandaskan pada mekanisme AD/ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) yang berlaku.
✍️ Tanda Tangan Sakral yang Terabaikan
Gus Nadir juga menyinggung adanya ketidak sinkronan antara pucuk pimpinan Syuriyah (lembaga legislatif dan penentu kebijakan) dan Tanfidziyah (lembaga eksekutif dan pelaksana program).
Bahkan, menurutnya, persoalan bukan hanya terjadi pada level Ketua Umum, melainkan merembet hingga ke posisi lain. Rais Aam sendiri disebut tidak “sreg” dengan Katib Aam (yang kebetulan masih keluarga dekat Ketum).
Dampak dari disfungsi ini terlihat jelas dalam surat-menyurat resmi organisasi.
“Akhirnya, surat resmi Syuriyah hanya ditandatangani Rais ‘Am. Surat Tanfidziyah hanya diteken Ketum,” paparnya.
Kondisi ini menjadi kunci mengapa surat hasil rapat Pengurus Harian Syuriyah yang mendesak Gus Yahya mundur hanya ditandatangani oleh Rais Aam PBNU. Padahal, Gus Nadir menegaskan bahwa:
Prosedur baku organisasi mengharuskan adanya empat tanda tangan dalam surat resmi:
- Rais Aam
- Katib Aam
- Ketua Umum
- Sekjen
“Ketika prosedur dasar organisasi saja tidak dijalankan, maka itu menunjukkan adanya persoalan yang jauh lebih serius daripada sekadar miskomunikasi,” tegasnya. Menurut Gus Nadir, PBNU saat ini bukan hanya mengalami kemacetan, tetapi “mesin yang mati dan dibiarkan karatan selama berbulan-bulan.”
🛣️ Kehilangan Arah dan Marwah: Jamaah Nahdliyin Terabaikan
Disfungsi struktural ini, kata Gus Nadir, berimbas langsung pada pengelolaan dan pelayanan terhadap Jamaah Nahdliyin yang kini menjadi terabaikan.
“Masing-masing kubu berjalan sendiri. Jama’ah Nahdliyin bergerak tanpa arahan, tanpa bimbingan, tanpa kepemimpinan PBNU. Roda terkunci mati,” tuturnya.
Krisis ini dinilai sangat berbahaya bagi marwah organisasi besar sekelas NU. Bukan hanya persoalan teknis, tetapi menyentuh prinsip dasar yang dijunjung NU selama ini.
“Wa ba’du, jam’iyyah ini sakit parah. Kehilangan marwah, kehilangan arah. Bukan melayani jama’ah, bahkan menggerakkan roda organisasi saja sudah tak sanggup. AD/ART sudah jadi dokumen mati,” kecam Gus Nadir.
🏭 Kebijakan Kontroversial: Tambang dan Tokoh Zionis
Selain masalah struktural, kritik Gus Nadir juga menyasar pola dan arah kebijakan PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya. Ia menyoroti inkonsistensi antara tagline yang diusung dengan realitas kebijakan.
- Tagline “Menghidupkan Kembali Gus Dur”, namun sikap kritis justru hilang.
- Mengaku ingin “Governing NU”, namun tata kelola internal PBNU remuk redam.
- Mengibarkan bendera Khittah, namun malah tercebur dalam kubangan dukung-mendukung Pilpres.
Bahkan, Gus Nadir menyinggung keputusan PBNU yang justru bersemangat mengakuisisi tambang, hingga mengundang tokoh yang dinilai pro-zionis ke dalam forum PBNU.
“Mengaku berkhidmat untuk bangsa, malah gaduh sendiri soal tambang. Bicara ingin membangun peradaban dunia, tapi yang diundang justru tokoh zionis perusak peradaban,” paparnya.
Gus Nadir menutup kritiknya dengan rasa prihatin mendalam atas perjalanan Satu Abad NU. Menurutnya, momen bersejarah ini justru dilalui dengan kondisi yang menyesakkan dada.
“Satu Abad NU bukan dirayakan dengan kejayaan, tapi dilewati dengan perih dan prihatin yang menyesakkan dada,” pungkasnya.
Kondisi ini memicu pertanyaan besar tentang masa depan kepemimpinan di PBNU dan bagaimana konflik struktural ini akan diselesaikan demi mengembalikan marwah organisasi serta melayani umat secara optimal. (*/tur)




