KALTENG.CO-Kondisi hutan di Pulau Sumatera telah mencapai titik kritis yang sangat mengkhawatirkan. Greenpeace Indonesia menyoroti bagaimana ekspansi industri dan kegiatan ekstraktif selama beberapa dekade terakhir telah menekan hutan alam hingga hanya tersisa kurang dari 30 persen dari luas aslinya.
Temuan yang memperihatinkan ini bukan sekadar data statistik, melainkan sebuah sinyal bahwa daya dukung lingkungan di salah satu pulau terbesar di Indonesia ini berada pada ambang batas yang sangat rentan.
🛑 Target Eksploitasi: Hutan Sumatera Tergerus Industri
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra, mengungkapkan kepada JawaPos.com (Jumat, 5/12) bahwa Sumatera sudah terlalu lama menjadi sasaran eksploitasi besar-besaran.
- Penyebab Utama Degradasi Hutan:
- Perkebunan kelapa sawit
- Perkebunan kayu (Hutan Tanaman Industri)
- Kegiatan pertambangan
“Sumatera ini sudah lama jadi target eksploitasi hutan dan alamnya. Baik untuk sawit, kebun kayu, maupun tambang. Bahkan hutan alam di Sumatera tersisa kurang dari 30%. Artinya, daya dukung lingkungan di Sumatera begitu rentan,“ kata Syahrul Fitra.
Krisis ekologis yang mendalam ini berdampak langsung pada tragedi kemanusiaan dan lingkungan. Tidak mengherankan, deforestasi masif menjadi pemicu utama serangkaian bencana alam, seperti banjir bandang dan tanah longsor, yang belakangan ini melanda wilayah seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.
🌧️ Cuaca Ekstrem dan Salah Urus Negara
Syahrul Fitra menegaskan bahwa kondisi hutan yang terdegradasi parah memperburuk dampak bencana, terutama di tengah tren peningkatan cuaca ekstrem. Ia secara blak-blakan menilai bahwa negara turut memegang andil besar dalam krisis ekologis yang terjadi saat ini.
Menurutnya, ambisi pembuat kebijakan dalam mengeluarkan izin-izin yang berujung pada penghancuran hutan adalah inti masalahnya.
“Dan kita lihat saat ini ketika terjadi hujan ekstrim, bencana di mana-mana. Menurut saya ini bencana akibat salah urus negara. Pembuat kebijakan berambisi membuat kebijakan dan memberi izin penghancuran hutan,” cetusnya.
Logikanya sangat sederhana: Ketika hutan rusak, ia memicu anomali cuaca. Dan ketika anomali cuaca seperti curah hujan ekstrem terjadi, hutan yang sudah rusak tidak lagi mampu menampung volume air yang begitu besar, sehingga memicu bencana.
📜 Kritik Keras: Pemerintah Dinilai Lamban dan Abai
Greenpeace juga menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai lamban dalam menangani persoalan kehutanan. Praktik ilegal dan perizinan bermasalah, kata Syahrul, dibiarkan berlangsung bertahun-tahun tanpa adanya pengawasan yang ketat dan efektif.
“Masalahnya, sampai saat ini pemerintah terus mempertahankan izin yang bermasalah, abai terhadap aktivitas ilegal. Baru gerak kalau sudah viral,” sesalnya.
Syahrul Fitra mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah tegas guna memperbaiki tata kelola hutan. Kebijakan yang merusak hutan seharusnya tidak lagi dipertahankan.
“Dan kebijakan yang merusak itu masih di sana,” pungkasnya, menggarisbawahi urgensi perubahan kebijakan demi menyelamatkan sisa hutan alam Sumatera dan mencegah bencana ekologis yang lebih parah di masa depan. (*/tur)




