BeritaHukum Dan KriminalLINTAS BORNEO

Kriminalisasi Tokoh Adat Kalbar! Tarsisius Fendy Diincar Polisi Pasca Kritik PT Mayawana Persada

KALTENG.CO-Menjelang peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, peristiwa memilukan yang dinilai sebagai “ironi” penegakan HAM kembali terjadi di Kalimantan Barat.

Kepolisian Resort (Polres) Ketapang dan Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat dilaporkan melakukan upaya penjemputan paksa terhadap seorang tokoh masyarakat adat, Tarsisius Fendy Sesupi (38), di Kantor Link-AR Borneo, Pontianak, pada Senin (9/12/2025).

Aksi ini terjadi beberapa jam setelah Fendy memberikan testimoni dalam kegiatan media briefing mengenai hasil pemantauan deforestasi dan degradasi lahan oleh perusahaan perkebunan kayu, PT Mayawana Persada (PT MP).

Upaya penjemputan paksa ini dikecam keras oleh aktivis HAM dan lingkungan karena dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan merupakan bentuk kriminalisasi yang berulang terhadap masyarakat korban perampasan tanah.

Tokoh Adat Pejuang Tanah Leluhur

Tarsisius Fendy Sesupi adalah Kepala Adat Dusun Lelayang, Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. Ia dikenal sebagai pejuang gigih dalam membela hak-hak masyarakat adat Dayak Kualan yang wilayah adatnya tumpang tindih dengan konsesi PT MP.

PT Mayawana Persada (PT MP) memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) seluas 136.710 hektar yang membentang di 14 desa di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara.

Sejak konsesi diberikan pada tahun 2010, praktik bisnis PT MP dituding melanggar prinsip pengakuan dan perlindungan hak ulayat masyarakat adat, memicu konflik sosial, perampasan tanah, penggusuran, serta tindakan adu domba.

Kriminalisasi Berbasis Sengketa Tanah

Kasus yang melatarbelakangi upaya penjemputan paksa ini adalah dugaan tindak pidana Pemerasan (Pasal 368 ayat (1) KUHP) dan/atau Perbuatan Tidak Menyenangkan (Pasal 335 Ayat 1 ke (1) KUHP). Tuduhan ini terkait dengan peristiwa yang terjadi pada 3 Desember 2023 di Kantor Estate Kualan PT MP.

Faktanya, kasus ini berakar dari sengketa lahan dan penetapan sanksi adat oleh masyarakat adat Dayak Kualan terhadap PT MP. Masyarakat menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas berbagai pelanggaran hukum adat, termasuk penggusuran lahan, penghancuran tanaman tumbuh, dan pembakaran pondok ladang.

Fendy telah dipanggil sebagai saksi dalam kasus serupa setahun sebelumnya, pada 15 Oktober 2024, dan telah memenuhi panggilan. Masyarakat dan organisasi pendamping menyatakan bahwa pemanggilan dan upaya penjemputan kali ini adalah serangan lanjutan kriminalisasi yang bertujuan untuk menekan masyarakat agar menghentikan tuntutan pertanggungjawaban kepada PT MP.

Tuntutan dan Sikap Tegas

Mengingat akar masalahnya adalah konflik agraria yang berlarut, pihak pendukung Fendy Sesupi mengeluarkan sikap tegas:

  1. Hentikan Kriminalisasi: Tindakan pemanggilan dan upaya penjemputan paksa oleh Kepolisian dinilai sebagai tindakan kriminalisasi yang melanggar hak asasi Fendy untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan.
  2. Tolak Proses Hukum: Meminta Kepolisian RI, Cq. Polres Ketapang, untuk menghentikan proses pemanggilan dan pemeriksaan kepada Tarsisius Fendy Sesupi karena dugaan tindak pidana yang dimaksudkan dianggap tidak berdasar.
  3. Bebaskan Tanpa Syarat: Menuntut pembebasan Fendy tanpa syarat dari semua tuduhan tindak pidana yang tidak terbukti kebenarannya.
  4. Hentikan Praktik Bisnis Merusak: Mendesak PT MP menghentikan praktik bisnis yang menimbulkan deforestasi, degradasi kawasan gambut, dan mengabaikan hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam. PT MP juga dituntut untuk memulihkan kerusakan ekologi dan menghentikan semua tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat.

Upaya kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh adat dan pejuang lingkungan di Indonesia sering kali menjadi hambatan dalam upaya mereka untuk melindungi hak-hak tradisional dan lingkungan hidup dari ekspansi industri ekstraktif.

Peristiwa di Kalimantan Barat ini menambah daftar panjang kasus di mana aparat penegak hukum dinilai lebih memihak kepentingan korporasi ketimbang hak-hak dasar masyarakat. Sejauh ini, belum ada keterangan resmi dari pihak-pihak terkait tentang informasi dugaan kriminalisasi terhadap tokoh adat di Kalbar ini. (*/tur)

Related Articles

Back to top button