PALANGKA RAYA, kalteng.co-Ribuan sarjana lulusan keguruan maupun guru honorer di Kateng harus mengubur dalam-dalam mimpinya ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaganya sudah sepakat meniadakan lagi pengangkatan guru sebagai abdi negara berstatus PNS. Bahkan, pada seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang direncanakan dibuka April mendatang juga dipastikan dihapus. Tidak dibuka untuk formasi guru. Sebagai gantinya adalah seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Kebijakan pemerintah yang meniadakan pembukaan formasi guru pada seleksi CPNS tahun ini disambut senyum kecewa dari guru honorer, terutama mereka yang usianya masih memungkinkan mewujudkan impiannya menjadi PNS. Namun, karena kebijakan pemerintahan yang menghapus penerimaan jalur CPNS, membuat para guru honorer ini tidak bisa berharap banyak lagi. Jaminan untuk masa depan tidak begitu secemerlang guru yang sudah berstatus PNS.
Seperti yang diungkapkan oleh salah satu guru honorer atau tenaga kontrak bernama Mahiang SPd. Ia mengaku kecewa karena tidak dibukanya formasi guru jalur CPNS.
“Saya sedikit kecewa karena saya sangat berharap bisa menjadi PNS,” ujar Mahiang yang merupakan tenaga pengajar di salah satu sekolah menengah atas (SMA) favorit di Kota Palangka Raya ketika dihubungi Kalteng Pos melalui WhatsApp, Minggu (3/1).
Mahiang yang mengaku sudah sembilan tahun mengabdi sebagai guru kontrak dan saat ini berstatus tenaga honorer atau guru tidak tetap (GTT) Provinsi Kalteng ini, berharap agar pemerintah pusat bisa memberikan perhatian yang lebih kepada para tenaga guru kontrak, terutama yang sudah lama mengabdi.
Mahiang mengaku, sebagai seorang guru, status PNS merupakan hal yang sangat penting artinya.
“Karena dengan menjadi PNS, mendapatkan gaji dan tunjangan yang layak, jenjang karier yang jelas, uang pensiun, masa kerja sampai usia 60 tahun. Kalau berstatus guru PPPK (perjanjian kerja berbatas waktu) tidak mendapat uang pensiun,” tutur guru bahasa Perancis lulusan Universitas Negeri Semarang ini.
Ia mengatakan, apabila tahun ini tidak ada seleksi penerimaan PNS bagi tenaga guru dan hanya ada tes penerimaan pegawai melalui jalur PPPK, maka mau tak mau ia memilih mengikut tes tersebut.
“Kalau memang hasil akhirnya tidak ada pengangkatan guru jadi PNS, ya akan tetap ikut tes PPPK saja. Namanya juga untuk bertahan hidup dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” ucap Mahiang.
Ditambahkannya, pada dasarnya para guru honorer mengharapkan kepastian dari pemerintah. Karena menurutnya menjadi seorang guru PPPK belum ada kepastian apakah akan terus bekerja sampai usia 60 tahun sebagaimana guru berstatus PNS.
“Semoga ada kebijakan pengangkatan guru honor menjadi PNS, terutama guru-guru yang sudah cukup lama mengabdi di sekolah-sekolah. Kami harap pemerintah lebih memperhatikan guru-guru yang mengajar bidang studi langka, seperti bahasa asing,” pungkas Mahiang.
Sementara itu, PGRI pusat telah mengirim surat ke Kemenpan-RB dan seluruh pemangku kepentingan terkait hal itu. Secara organisasi, PGRI Kalteng nyatanya mendukung agar pemerintah memprtimbangakan kembali formasi PNS di tahun 2021 ini tetap disediakan.
Ketua PGRI Kalteng Suriansyah Murhaini melalui Wakil Ketua I H. Slamet Winaryo mengatakan, sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, istilah profesi guru dibagi menjadi dua, yakni PNS dan ASN kategori PPPK.
Semua kategori mempunyai hak yang sama dalam perlakuan. Namun PPPK harus memperpanjang dan mengevaluasi kinerja setiap tahunnya. Berbeda dengan PNS yang sekali diangkat melalui tes CPNS akan pensiun pada usia tertentu dan mendapat jaminan hari tua.
Di satu sisi, PNS lebih istimewa karena mempunyai karier yang jelas. Sementara, PPPK tetap diakui, tapi setiap tahun harus terus dievaluasi. PPPK tidak memiliki NIK. Hanya dibekali nomor kepegawaian biasa. Punya hak cuti. Namun, tidak punya jaminan pensiun. Artinya masa depan dan karier antara PNS dan PPPK berbeda. Sementara di sisi yang lain, pemerintah tidak bisa menampung kuota kepegawaian. Akhirnya mereka memberikan kebijakan honorer untuk ditampung di PPPK kepada guru usia 35 tahun ke atas.
“Kalau pemerintah langsung memberikan keputusan bahwa tahun ini pengangkatan guru tidak dalam bentuk CPNS, tentunya ini kurang baik menurut saya. Dengan wacana guru di formasi PPPK, itu tidak adil dan tidak pas, karena ada ribuan dari mereka punya harapan masuk PNS melalui CPNS,” kata Slamet.
Lanjutnya, bagi mereka yang berusia di bawah 35 tahun, tentu ingin mengikuti tes CPNS, sementara yang berusia 35 ke atas bisa mengikuti PPPK. Belum lagi lulusan sarjana dari sejumlah fakultas perguruan di Kalteng. Berharap bisa mengikuti seleksi CPNS tahun ini.
“Kita (Kalteng, red) kekurangan tenaga guru. Kalau boleh dihitung, tahun 2019 lalu di Kalteng ada kurang lebih 19 ribu guru yang masih honor,” katanya.
Ia menyebut, PGRI pusat dan Komisi X DPR RI telah berkomunikasi untuk menolak wacana penerimaan guru jalur PPPK dan meminta agar penerimaan guru CPNS tetap disediakan. Sedangkan penerimaan guru PPPK bagi para honorer yang berusia di atas 35 tahun tetap dilakukan.
“Kami berharap pemerintah pusat tetap memberikan peluang formasi CPNS umum. Pada dasarnya ini hak untuk semua orang yang ingin menjadi PNS,” ungkap mantan Kadisdik Kalteng ini.
Slamet melanjutkan, PGRI Kalteng tetap mendukung program PGRI pusat. Menginginkan pemangku kepentingan di Indonesia tetap membuka penerimaan guru melakui CPNS. PGRI Kalteng juga akan berkoordinasi dengan pemerintah provinsi terkait hal ini.
Karena dengan penyediaan guru yang kompeten dan profesional, lanjut Slamet, pihaknya yakin Indonesia khususnya Kalteng mampu meningkatkan kualitas pendidikan.
Menyikapi pernyataan dari KemenPAN-RB yang menyebut guru juga sering meminta pindah sehingga lebih cocok berstatus sebagai PPPK, menurut Slamet, perihal perpindahan itu tidak seharusnya menjadi alasan meniadakan formasi guru.
“Sebenarnya di Kalteng perpindahan guru tidak begitu besar juga. Seperti guru yang PNS boleh pindah apabila ada pengganti. Namun tidak serta-merta bisa pindah, karena regulasi diatur pemerintah. Menurut saya ini pertimbangan kebutuhan. Faktor perpindahan tidak bisa menjadi rasional. Pihak yang bertanggung jawablah yang memberikan peluang. Kalau daerah setempat tidak memberikan peluang, maka tidak bisa pindah,” bebernya.
Oleh karena itu, PGRI Kalteng berkeyakinan bahwa perpindahan guru bukan pindahan yang esensial. Tergantung bagaimana pihak terkait mengendalikan dan mengelola agar guru bekerja secara profesional.
Misalnya, bagaimana membuat guru yang ditugaskan di pedalaman jadi betah bertugas. Salah satunya, pemerintah setempat harus bisa meningkatkan perhatian dan memberikan kepastian bagi para guru untuk berkarier di daerah.
“Sebenarnya tidak ada guru di kampung ingin pindah ke kota, kalau mereka punya tunjangan khusus dan punya intensif dari pemda. Dengan begitu keinginan berkarir di daerah pasti ada,” jelasnya.
Menurutnya, guru yang berstatus PPPK lebih baik dibandingkan pegawai honor biasa yang tak jelas gajinya.
“Akan tetapi bagi yang berusia di bawah 35 tahun dan punya kesempatan berkarier sebagai PNS, ya jangan dihambat, karena PNS lebih menjanjikan dibandingkan PPPK,” tegasnya.
Slamet berharap tes CPNS bagi guru di bawah usia 35 tetap bisa dibuka untuk memberikan mereka peluang berkarier ke depannya. (sja/ard/ce/ala)