Apakah Film Nehi-Nehi Akan Kembali?
***
Alih-alih pertanyaan, pada dasarnya judul kolom ini adalah sebuah harapan. Dan seperti yang sudah-sudah, harapan ini adalah harapan yang sangat lemah.
Lagi pula, ironisnya, ini sebenarnya saat yang tak pas untuk berharap. Sinema India, baik sebagai industri maupun sebagai produk budaya, sedang dalam kondisi tak menyenangkan. Industri film dunia terpukul sangat keras oleh pandemi.
Namun, tak ada yang lebih menderita melebihi industri film India, yang berdiri di tengah masyarakat yang menjadikan bioskop sebagi tempat suci ketiga setelah kuil-kuil dan stadion-stadion kriket mereka.
Tapi, masih ada yang lebih buruk dari pandemi: rezim ultranasionalis yang selama 10 tahun terakhir berkuasa. Mereka sedang mengimajinasikan India yang kembali sepenuhnya Hindu seperti zaman Ramayana, dan sedang mengupayakannya dengan berbagai cara.
Industri film adalah salah satu target utamanya –seperti yang sudah pernah dicoba oleh rezim-rezim fasis di mana-mana. Lagi pula, di mata rezim, industri film, terutama Bollywood, adalah tempat berkubunya kalangan sekuler-liberal-komunis-Islam/pro-Pakistan (yang dibaca dalam satu helaan).
Mereka membelah industri film sebagaimana mereka membelah India hari ini: pro pemerintah atau ”antinasional” (demikian mereka menyebut oposisi). Sosok-sosok atau karya yang prorezim didukung habis (dianugerahi gelar dan penghargaan atau filmnya dibebaspajakkan), sementara yang dianggap musuh digebah seperti sampar.
Contoh mutakhir, ketika film penuh propaganda anti-Islam seperti Kashmir File dibebaspajakkan, kampanye boikot film baru Aamir Khan telah digalakkan secara masif bahkan ketika masih berupa trailer.
Bersyukurnya, selalu ada oase di tengah gurun. Pusat perfilman India tersebar di berbagai negara bagian. Ketika Bollywood di Mumbai masih remuk karena wabah atau diobok-obok politik rezim, pusat-pusat industri film lain yang agak jauh dari jangkauan kekuasaan lebih cepat pulih; demikian juga, ketika film-film berbiaya besar mesti tiarap, film-film yang lebih independen secara ekonomi tengah mengincar kesempatan.
Kolapsnya perbioskopan selama pandemi di India, seperti yang terjadi di mana-mana, memaksa banyak film hijrah ke platform over-the-top (OTT) seperti Netflix, Disney Plus, dll. Pihak yang paling sigap memanfaatkan alih wahana ini adalah film-film berbujet kecil atau film-film dari industri yang lebih independen seperti sinema berbahasa Malayalam dari Kerala.
Gangubai Kathiawadi (berbahasa Hindi) dan RRR (Telugu) kebetulan tak mendapat gangguan dari kekuasaan. Lagi pula, keduanya adalah film-film besar yang diharap membangkitkan kembali perbioskopan India, dan sejauh ini dianggap berhasil.
Dan, kesuksesan itu tampaknya bisa mereka ulangi di platform OTT. Keduanya ada di daftar film dengan penonton terbanyak di Netflix di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Yang lebih istimewa, untuk konteks Indonesia, dua film tersebut hadir dalam banyak percakapan, baik online maupun offline. Dan, jelas, ia ditonton tak hanya oleh penggemar tradisional film India.
Kedua film, sebagaimana yang pernah dialami KKHH dan 3 Idiots, saya yakin, belum akan mengembalikan sinema India dari kurungan domestikasinya di Indonesia. (Jadi, lupakan bentakan Tuan Thakur yang menggetarkan satu kelurahan.)
Tapi, angka-angka yang nyata di platform OTT mungkin akan sulit diabaikan oleh jejaring pawagam ketika industri perbioskopan kita sudah sepenuhnya pulih.
Mungkin. (*)
—
MAHFUD IKHWAN, Penggagas Sindikasi Nonton India (Dikutip dari JawaPos.com/tur)




