AKHIR PEKANBeritaSASTRA

Mampus Kau Dikoyak-koyak Ratu Adil

Mengenalmu adalah kebangkitan dalam hidupku, walau mengenangmu selalu membuatku bersedih.

SASTRO mengucapkannya ke Jendro muda jelang Hari Kebangkitan Nasional entah tahun berapa. Zaman itu Jendro masih kinyis-kinyis. ”Adakah pesan-pesan gebetanku menyambut hari bersejarah tanggal 20 Mei ini?” pintanya. Sastro yang kala itu juga masih beralbum Rhoma Irama, Darah Muda, segera meluap-luap ndobos tentang sejarah pergerakan nasional.

Perhatian Jendro ke gelembung-gelembung lembut nangka goreng yang masih panas. Jendro meniup-niupnya.

”Engkau memintaku nggedebus soal hari kebangkitan. Bangkitlah aku dari rebahan di bangku taman ini. Tapi engkau tidak…”

”Aku tertarik.”

”Engkau meniup-niup nangka goreng.”

”Karena mau meniup lilin tidak ada. Ini malam ulang tahunku, Mas!”

Sastro menyembunyikan malunya. Setiap sebelum tidur ia sebut dalam hati nama Jendro lengkap dengan tanggal lahirnya, weton Rebo Legi-nya, mendoakannya kepada Sang Malik. Membayangkan aroma napasnya yang bak sedap malam. Eh, pas hari H-nya dia malah khilaf.

”No! Engkau tidak tertarik, Dik.”

”Duh! Mas Sastro, sastrawanku, aku tertarik, Mas.”

”No! Engkau malah asyik sendiri meniup-niup. Sepanjang ceritaku tentang Bapak Dokter Wahidin Soedirohoesodo yang tak henti-henti bicara ihwal nasionalisme di korannya Retno Dhoemilah, engkau tak henti-henti meniup lilin, eh, nangka goreng…”

Jendro, menahan tawa, ”Aku meniup-niup nangka ulang tahun, eh, lilin goreng, sambil mendengar ceritamu, Mas. Mosok nggak tahu, perempuan itu bisa memikirkan banyak hal pada jarum jam yang sama. Soal LGBT, soal naik turunnya harga telur sampai harga diri, soal G20 sampai G String, semua bisa serentak dilakukan sambil menangis bahagia mengiris bawang untuk memasakkan calon suami.”

”Yes! Engkau meniup-niup… barang itu… Sambil mendengarkan sesuatu. Tapi bukan menyimak sejarah. Engkau menyimak burung gagak berkaok-kaok di atas taman ini.”

Darah muda Sastro menggerakkannya bergegas meninggalkan Jendro muda seorang diri di bangku kelabu taman itu.

***

Itu tahun 2000-an awal. Di bangku jingga yang cukup jauh di taman yang sama, Sastro merenungi novel rancangannya. Tentang calon istri yang sering tak dipahami calon suaminya. ”Tolong minta api?” lelaki yang tetiba sudah ada di sebelahnya minta pertolongan.

Sastro tak menengok. Pandangannya tetap ke burung gagak. Ia hinggap di pohon kiara payung taman itu, yang kaokan-kaokannya merampas perhatian si lagi berulang tahun. Lagian meminjamkan korek api di era hepatitis begini, bertukar cairan tubuh seperti keringat yang melumur di geretan itu, apa tidak berisiko?

”Ah, ini tahun 2000-an awal, Sastro. Bukan tahun 2022. Lagian hepatitis 22 tahun mendatang itu cuma menyerang bocah 16 tahun ke bawah. Sadar umur! Usiamu sudah memasuki darah muda!”

Di benak Sastro kaokan gagak yang sudah berpindah menclok di pohon tanjung ini bagai mengatakan itu.

”Boleh pinjam nyala?” lelaki sebelah kembali bertanya. ”Nama saya Chairil…”

Sastro tetap mengamati gagak.

”Chairil Anwar.”

Hah? Sastro terperanjat menengok. Penyair idolanya yang meninggal tahun 1949, yang tanggal kematiannya 28 April dijadikan Hari Puisi Nasional?

”Mampus kau dikoyak-koyak sepi,” desah lelaki yang bersosok dan mengaku Chairil itu sempurna mengembuskan asap pertama rokoknya.

”Dia tak mau dengar ceritamu? Hmmm… Mampus kau dikoyak-koyak sepi… Perempuan lebih suka mendengar quote sejarah. Bukan kronologi sejarah. Sejarah sudah bisa mereka beli di toko-toko barang antik.”

Melihat Sastro mendadak putus asa, ”Chairil Anwar” melanjutkan, ”Misi kita para sastrawan bukan untuk menyiram dan menyemai keputusasaan. Apalagi sampai membiarkannya tumbuh rindang seperti pohon kiara payung itu. Misi kita, kempesi balon-balon jiwa yang kosong. Manunggalkan udaranya dengan udara semesta… Jiwa pribadi yang nyawiji dengan Jiwa Semesta.”

***

”Dari mana saja kamu, Sastro? Dasar, raja tega. Tega-teganya kau biarkan aku berulang tahun sendirian di bangku kelabu ini, Mas… Sendirian menyanyikan panjang umurnya…panjang umurnya…serta mulia…lancar rezeki…” Jendro menatap nangka goreng yang sudah mendingin.

”Maaf, lama… Tadinya aku cuma mau nyamperi gagakmu. Memastikan makna pertandanya. Kamu lebih suka quote sejarah daripada kronologi sejarah? Quote leluhur, kaok gagak yang sambung-menyambung menjadi satu seperti itu menunjukkan akan datangnya Ratu Adil.”

”Ah, Sastro, sastrawanku. Datangnya Ratu Adil dari dulu selalu diramalkan… Tapi…Yaaah… Eh, dari mana kamu tahu bahwa aku lebih suka quote sejarah ketimbang kronologinya?”

”Dari sosok yang baru saja kujumpai di bangku jingga itu: Chairil Anwar!”

”Hah? Penyair Angkatan ’45 yang telah tiada itu? Sastro, kamu mabuk apa? Perasaan di sini tidak ada tuak Tuban. Ciu Bekonang juga tiada.”

”Apa betul tuak Tuban dan ciu Bekonang memabukkan? Ah, sudahlah… Yang penting sedari perjumpaan kami barusan, aku kini orangnya sudah bisa memenuhi permintaanmu akan pesan-pesan di Hari Kebangkitan Nasional. Pesannya persis yang kuucapkan di pembuka #TaliJiwo kali ini. (Dikutip dari JawaPos.com/tur)

SUJIWO TEJOTinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

Related Articles

Back to top button