KALTENG.CO-FIFA kembali memicu perdebatan panas, kali ini bukan karena format turnamen, tetapi karena kebijakan penjualan tiket Piala Dunia 2026.
Penyelenggara turnamen sepak bola terbesar ini telah mengumumkan sistem harga dinamis, sebuah kebijakan yang memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk media internasional dan para penggemar.
Sistem Harga Dinamis: Untung Besar, Siapa yang Dirugikan?
FIFA menjual tiket Piala Dunia 2026 dengan harga yang bisa berubah sesuai permintaan pasar. Secara teori, harga tiket fase grup dimulai dari $60 (sekitar Rp986 ribu), sementara kursi terbaik di laga final dipatok seharga $6.730 (sekitar Rp110 juta). Namun, dengan sistem harga dinamis, harga tiket ini tidak akan statis; ia bisa melonjak naik drastis saat permintaan memuncak.
Permasalahan utamanya adalah penjualan tiket sudah dibuka melalui serangkaian undian, padahal pengundian grup baru akan dilakukan pada Desember nanti. Ini berarti, para penggemar harus membeli tiket tanpa mengetahui siapa tim yang akan bermain di pertandingan tersebut. Tentu saja, kondisi ini memicu spekulasi bahwa harga tiket akan meroket begitu lawan-lawan di setiap grup sudah jelas.
Heimo Schirgi, Chief Operating Officer Piala Dunia 2026, berdalih bahwa sistem ini menguntungkan konsumen, dengan pesan “beli tiket lebih awal… karena apa saja bisa terjadi.” Presiden FIFA, Gianni Infantino, juga membela kebijakan ini dengan mengatakan, “Harga bisa naik atau turun… yang penting adalah memenuhi stadion.”
Pengkhianatan terhadap Fans?
Meskipun FIFA membela keputusannya sebagai strategi bisnis yang sejalan dengan pasar Amerika Utara, berbagai media internasional, seperti Reuters, ESPN, dan The Guardian, mengkritik kebijakan tersebut. Mereka menyebutnya sebagai “pengkhianatan terhadap kesepakatan tak tertulis antara fans dan penyelenggara.” Para penggemar bersedia membayar untuk menonton, tetapi mereka tidak ingin merasa diperas habis-habisan.
Kritik ini semakin menguat dengan adanya survei YouGov yang menunjukkan bahwa penggemar di Amerika Serikat sendiri menganggap sistem harga dinamis ini tidak adil.
Praktik harga dinamis memang umum di Amerika, tetapi dalam dunia hiburan, kebijakan ini pernah memicu kontroversi. Grup musik legendaris Oasis pernah membatalkan konsernya di AS karena sistem ini. Bahkan Taylor Swift menolak menggunakannya, meskipun berisiko kehilangan pendapatan, karena ia “tidak ingin menyakiti penggemarnya.”
Antara Laba dan Inklusivitas
Secara hukum, kebijakan FIFA ini tidak melanggar peraturan karena modalitasnya legal di Amerika Utara. Namun, di mata banyak orang, keputusan ini semakin menggarisbawahi pergeseran prioritas FIFA. Organisasi ini dianggap lebih mengutamakan keuntungan daripada inklusivitas dan semangat global yang seharusnya menjadi esensi dari olahraga.
Turnamen sepak bola terbesar ini kini semakin terlihat sebagai ajang komersial dengan harga yang eksklusif, bukan lagi perayaan global yang bisa dinikmati oleh semua penggemar. (*/tur)




