Lebih Dari Dua Ribu Kepala Keluarga Jadi Korban
“Selain merelokasi dan mempercepat beberapa rencana tanam komoditas bantuan,” ujarnya. Bencana banjir di Berau kali ini adalah yang terbesar dalam kurun 20 tahun terakhir.
Berdasarkan data yang di keluarkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Berau, lebih dari dua ribu kepala keluarga jadi korban. Bencana ini, di sebut Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang tak lepas dari alam Berau yang leluasa di keruk tambang.
Meluapnya Sungai Kelay serta Sungai Segah oleh Pemkab Berau di sebut-sebut sebagai banjir tahunan yang kerap di alami warga.
“Pemerintah tampak bersembunyi di balik narasi fenomena alam yang normal dan terjadi sepanjang tahun, tetapi abai dengan sejumlah fakta penting ihwal kerusakan bentang alam, terutama alih fungsi lahan menjadi konsesi tambang batu bara di kawasan hulu, serta sepanjang daerah aliran sungai,” jelas Rupang.
Dari data yang di himpun Jatam, total ada 94 konsesi tambang batu bara. Terdiri 93 IUP dan satu PKP2B. Lanjut ia, terdapat 20 konsesi tambang batu bara yang berada di sisi Sungai Segah dan Sungai Kelay. Dari jumlah tersebut, tujuh konsesi tambang di antaranya berada di hulu Sungai Kelay.
Jatam Kaltim menduga bahwa praktik penambangan di hulu Sungai Kelay dan Sungai Segah menjadi biang kerok pemicu banjir yang terjadi beberapa tahun ini di Kabupaten Berau.
“Dari total 94 izin tambang di Berau, terdapat 16 perusahaan tambang yang telah melakukan penambangan. Namun, daya rusaknya sudah sangat parah, apalagi jika seluruh perusahaan tambang itu beroperasi,” jelasnya.
Tidak Beroperasi Sesuai Aturan
Kemudian, sepanjang 2020–2021, terdapat 11 lokasi tambang ilegal yang beroperasi di Kabupaten Berau, semua terkonsentrasi di tiga kecamatan, yakni Kecamatan Tanjung Redeb, Teluk Bayur, dan Kecamatan Gunung Tabur. Belum lagi perusahaan yang memiliki izin tetapi tidak beroperasi sesuai aturan.
Misalnya, lubang tambang perusahaan yang tanggul tambangnya jebol, jarak tepi void dengan Sungai Kelay hanya kurang lebih 400 meter. Padahal, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2012 mensyaratkan batas minimal jarak adalah 500 meter.
“Tidak hanya itu, sebagian besar konsesi-konsesi tambang yang di terbitkan pemerintah telah melanggar Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kaltim Nomor 1 Tahun 2016 yang menyatakan jarak minimal tambang dengan permukiman adalah 1 kilometer,” tegas Pradarma.
Sementara itu, Gubernur Kaltim Isran Noor memberi tanggapan soal banjir di Berau. Ia menyebut, curah hujan tinggi, membuat banjir besar terjadi di kabupaten tersebut.
“Curah hujan tinggi, jadi dia (air) apa saja yang dia tubruk, dia terobos, termasuk bendungan,” ucapnya. Dia menambahkan, banyak daerah di Kaltim juga memang rentan banjir sejak zaman dulu.
Sehingga, menurutnya banjir bukanlah hal yang baru bagi Kaltim. Maka dari itu, pemeta an daerah rawan banjir pun di sebut tetap di lakukan. (tur)