SEBAGIAN besar masyarakat di Kalimantan Tengah, sebenarnya sudah terbiasa menghadapi banjir. Cerita tentang banjir ini pun pernah menjadi romansa indah di masa kanak-kanak generasi tempo doeloe.
Sejak berpuluh tahun lalu, saat curah hujan tinggi, debit air di sejumlah DAS dipastikan meluap.
Sebut saja Sungai Arut di Kotawaringin Barat, Sungai Mentaya di Kotim, Sungai Katingan di Katingan, Sungai Kahayan di Palangka Raya, Sungai Barito di Muara Teweh dan Puruk Cahu.
Tak ayal, luberan air pun mengalir hingga ke permukiman penduduk di sekitar bantaran sungai. Rerata masyarakat di Bumi Tambun Bungai, sudah paham betul ini adalah kondisi dan fenomena alam.
Nenek moyang suku Dayak menyikapinya dengan kearifan lokal.
Rumah-rumah di kawasan bantaran sungai pun dibangun bertiang tinggi, menyesuaikan ketinggian air yang paling mungkin terjadi. Biasanya, mengacu pada catatan sejarah banjir terdalam dalam beberapa dekade.
Dengan kearifan lokal pula, mereka mengetahui radius banjir yang terjadi pada sebuah perkampungan. Sehingga, semakin jauh dari bantaran sungai, konstruksi bangunannya sudah menyesuaikan model modern, tanpa tiang, pondasi menyatu dengan lantai. Jauh berbeda dengan kondisi saat ini.