BeritaKASUS TIPIKORNASIONALUtama

Dana Desa Meningkat, Korupsinya Juga Meningkat, Berikut Fakta Temuan ICW

KALTENG.CO-Adanya alokasi dana desa yang digelontorkan langsung ke kas desa menjadi salah satu pemicu saat ini jabatan kepala desa (Kades) menjadi rebutan.

Sayangnya, rebutan dalam pengelolaan dana desa ini masih belum dimbangi dengan pengelolaannya yang baik dan berintegritas. Hal ini memunculkan adanya pameo bahwa peningkatan dana desa juga meningkatkan korupsi dana desa tersebut.

Alokasi dana desa tak selamanya dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Jaka Sucipta mengungkapkan bahwa ada beberapa ekses negatif pada dana desa.

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

”Salah satu ekses negatifnya adalah korupsi. Itu kalau dulu terpusat, dengan era desentralisasi, (korupsi) sampai ke kabupaten/kota, sekarang sampai ke desa. Ini ekses negatif yang menjadi keprihatinan kita semua,” ujarnya pada diskusi media di Jogjakarta (3/5/2024).

Merujuk data Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak pemerintah menggelontorkan dana desa pada 2015, tren kasus korupsi di pemerintahan desa meningkat.

Pada 2016, ada 17 kasus korupsi di desa dengan 22 tersangka. Enam tahun kemudian, jumlahnya melonjak menjadi 155 kasus dengan 252 tersangka.Jaka menegaskan, itulah gambaran betapa buruknya ekses negatif dana desa.

”Ada yang dana desanya dipakai untuk karaoke, dipakai macam-macam lah,” ungkapnya.

Jaka juga mencontohkan beberapa perilaku yang sudah bergeser sebagai akibat ekses negatif dana desa. Dulu warga desa bisa secara sukarela gotong royong membangun desa.

Namun, ketika ada suntikan dana desa, kini hanya sebagian warga yang berminat melakukan gotong royong. ”Dengan adanya dana desa, kemudian jadi transaksional. Memang kami sedang mengkaji dampak dana desa terhadap yang sifatnya tangible asset gitu. Nilai-nilai seperti gotong royong dan sebagainya itu,” jelas dia.

Kemenkeu telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi ekses negatif tersebut. Begitu didapati adanya temuan penyalahgunaan dana desa, penyalurannya langsung disetop.

Saat kepala desa (Kades) terjerat kasus, penyaluran dana desa langsung dihentikan sampai pelaksana tugas (Plt) atau pejabat penggantinya ditunjuk.

”Kemudian, ketika terkena kasus korupsi, sebuah desa tidak boleh ikut dalam kompetisi untuk mendapatkan insentif desa. Jadi, salah satu kriteria insentif desa itu tidak ada kasus korupsi di desanya, jadi di-blacklist lah,” tegasnya.

Meski begitu, Kemenkeu tidak memiliki kewenangan melakukan penindakan atas perilaku menyimpang tersebut. Kewenangan yang dimiliki Kemenkeu terbatas pada penghentian pemberian dana desa hingga pencabutan insentif.

Tindak pidana sepenuhnya menjadi kuasa aparat penegak hukum. ”Di kami (DJPK Kemenkeu), setiap ada penyalahgunaan dana desa, itu kami hentikan (penyalurannya). Jadi, kalau ada Kades atau perangkat desanya kena kasus, kami hentikan sampai ditunjuk Plt-nya. Ini yang bisa kami lakukan. Sebab, kami hanya terkait dengan pengalokasian dan penyaluran,’’ papar Jaka.

Sejak 2015 hingga 2024, pemerintah menggelontorkan dana desa Rp 609,68 triliun. Tahun ini pemerintah bakal memberikan dana desa Rp 71 triliun untuk 75.259 desa. Setiap desa akan mendapatkan sekitar Rp 943,34 juta. (*/tur)

Related Articles

Back to top button