BeritaNASIONALOPINIPOLITIKA

Politik Orang Madura

ORANG Madura nyapres. Keren. Dialah Mahfud MD. Barangkali, ini sejarah baru, ada orang Madura ter(di)pilih sebagai calon wakil presiden. Sebuah pencapaian yang, meski baru ’’calon”, dalam konteks personal Mahfud MD, dia tidak hanya sukses di bidang akademik.

Dia bergelar profesor, anggota DPR 2004–2008, ketua Mahkamah Konstitusi (2008–2013), Menko Polhukam (2019–sekarang), dan kini menuju ke pucuk pimpinan negara.

Pertanyaannya, apakah orang Madura secara otomatis akan memilih Mahfud MD dan pasangannya, Ganjar Pranowo, pada Pemilu 2024 nanti? Tidak bisa dipastikan, atau bahkan belum tentu. Bahwa orang Madura sangat bangga dengan prestasi Mahfud MD, itu tak diragukan lagi.

Tapi warga Madura, baik Madura negeri (orang Madura asli dan tinggal di Pulau Madura) maupun Madura swasta (orang Madura keturunan yang tinggal di luar Pulau Madura), sudah terfragmentasi ke dalam banyak kelompok, baik ormas, profesi, termasuk partai.

Persebaran orang-orang Madura di banyak komunitas itu terikat oleh ideologi kelompoknya masing-masing. Sementara hubungan dengan Mahfud MD lebih pada ikatan primordial sesama Madura.

Jadi, dalam memilih Mahfud MD pada Pilpres 2024, orang Madura akan mengalami pergolakan batin dalam dirinya. Apakah mengutamakan pertimbangan primordial atau ideologi kelompoknya. Misal, dia sebagai aktivis partai yang secara struktural tidak mengusung duet Ganjar-Mahfud?

Dalam budaya Madura, ada ungkapan: Bhuppak Bheubuk Guru Rato (Bapak Ibu Guru Raja). Peribahasa ini menunjukkan tingkat penghormatan orang Madura, yaitu kepada bapak, ibu, guru, dan raja. Tentang bapak dan ibu sebagai orang tua tak dapat didebat alias sudah pasti. Tetapi untuk dua yang terakhir, dalam konteks politik, sangatlah fleksibel berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, bukan sekadar emosional.

Dahulu, orang bilang strategi menarik massa dengan cara memegang simpulnya. Kalau targetnya santri, maka yang perlu ’’ditundukkan” adalah kiainya; kalau karyawan atau buruh pabrik, maka bos atau pemilik perusahaan; kalau rakyat secara umum, maka simpulnya adalah pemegang kekuasaan, misal bupati. Apakah strategi memegang simpul ini masih relevan? Menurut penulis masih relevan dengan persentase satu koma.

Benar orang Madura sangat hormat dan patuh kepada kiai. Tapi, itu urusan keagamaan. Sementara urusan politik tidak selinier itu. Orang Madura –dan mungkin juga terjadi di etnis dan daerah lain– dalam satu keluarga berbeda pilihan capres-cawapres merupakan hal lumrah; seorang santri dan alumninya beda pilihan politik dengan kiainya juga biasa terjadi; saat tiba waktu kampanye terbuka, bisa ikut ke semua paslon, tetapi pada akhirnya akan pilih paslon sesuai kemantapan hatinya, atau bahkan dia memilih golput.

Karena itu, Mahfud MD atau capres-cawapres lain bisa saja menggunakan simbol figur kiai (guru) atau figur pejabat publik (raja) di Madura untuk memberikan stempel dukungan kepadanya.

Tetapi percayalah, kalaupun mampu menarik massa, tidak sama sebagaimana mereka patuh dan taat kepada perintah bapak dan ibunya. Massa dalam politik bukanlah jemaah pengajian yang relatif mudah diarahkan dalam satu komando.

Orang-orang Madura juga pemilih rasional. Seorang calon pemimpin yang memiliki track record yang baik, berpengalaman dalam pemerintahan, secara sosial low profile, dan dekat dengan rakyat merupakan kriteria umum yang akan menjadi pertimbangan utama masyarakat Madura dalam menentukan pilihannya.

1 2Laman berikutnya

Related Articles

Back to top button