KALTENG.CO-Uang yang selama ini terkumpul dari dana haji ternyata dikelola oleh pemerintah dengan skema ponzi. Padahal, pengelolaan keuangan dengan pola seperti ini diharamkan di dalam Islam.
Setelah beberapa tahun sempat berjalan skema ponzi ini dalam pengelolaan dana, akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintah memotong atau menghilangkan skema Ponzi dalam pengelolaan dana haji.
Alasannya, nilai manfaat atau hasil investasi dana haji, harus dikembalikan kepada calon jemaah secara personal. Bukan bersifat kolektif dan sebagian digunakan untuk mengongkosi pemberangkatan jemaah tahun berjalan.
Sorotan adanya skema Ponzi dalam pengelolaan dana haji itu disampaikan Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh dalam diskusi BPIH Berkeadilan dan Berkelanjutan yang digelar Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Jakarta, Senin (30/1/2023).
Dalam salah satu butir rekomendasi yang dia buat, tertera jelas adanya skema Ponzi dalam pengelolaan dana haji.
Dalam dunia investasi, skema Ponzi dikenal sebagai modus investasi bodong, yang memberikan keuntungan kepada investor dari uang mereka sendiri, atau uang yang dibayarkan oleh investor berikutnya.
Model investasi seperti itu, tidak bisa bertahan lama jika tidak ada investor baru yang masuk.
’’Memotong dan menghilangkan mekanisme Ponzi dalam pengelolaan dana haji,’’ kata Asrorun membacakan usulan perbaikan pengelolaan dana haji dari perspektif keagamaan.
Ia menegaskan, skema Ponzi sudah telanjur berjalan. Karena itu, pemerintah, dalam hal ini BPKH, harus berani melakukan cut off, sistem pendistribusian nilai manfaat atau hasil investasi dana haji yang berjalan selama ini.
Asrorun menegaskan, nilai manfaat itu harus dikembalikan kepada tiap-tiap calon jemaah haji (CJH) yang sudah melakukan setoran awal. ’’Jangan sampai menzalimi jemaah. Laa tazlimuna wala tuzhlamuun (tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi, Red),’’ sambungnya.
Ia mengatakan, dengan adanya sistem virtual account seperti saat ini, BPKH cukup mudah untuk melakukan identifikasi masing-masing calon jemaah. Termasuk dalam membagikan nilai manfaat tersebut.
Mantan ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu menjelaskan, kepemilikan dana haji yang dibayarkan tiap-tiap jemaah bersifat personal atau individual.
Karena itu, nilai manfaat hasil pengelolaan dana haji juga harus didistribusikan secara personal. Namun, yang berlaku saat ini bersifat kolektif. Seluruh jemaah yang berangkat haji tahun ini menerima subsidi atau nilai manfaat yang sama.
Padahal, bisa jadi lama mengantrenya berbeda-beda. Kok bisa mereka mendapatkan subsidi sama? Inilah yang menjurus pada skema Ponzi. Supaya bisa mendapatkan nilai subsidi yang sama, mereka menggunakan nilai manfaat calon jemaah yang masih mengantre.
Skema Ponzi juga muncul dari penggunaan nilai manfaat yang kolektif atau campur aduk. Nilai manfaat dari dana haji calon jemaah yang baru masuk atau mendaftar ikut tersedot untuk ongkos subsidi jemaah yang berangkat. Begitu seterusnya, selama tidak ada pembagian nilai manfaat yang sepenuhnya bersifat personal atau individual.
Jika sistem pengelolaan dana haji tidak dibenahi, malapraktik yang berlangsung selama ini akan terus berjalan. Dia juga mengingatkan bahwa dalam misi penyelenggaraan haji, tugas pemerintah bukan sebagai biro travel.
Pada prinsipnya, Asrorun mengatakan, dana haji yang terkumpul boleh dikelola. Pengelolaannya bisa secara kolektif. Selain itu, dia menegaskan, tidak ada salahnya negara memberikan subsidi kepada CJH.
Meskipun dalam konteks pengelolaan haji di Indonesia, subsidi berasal dari dana jemaah sendiri. Subsidi tersebut tidak membatalkan pelaksanaan ibadah haji terkait adanya ketentuan istitha’ah.