BeritaUtama

Kisruh Tanah Wakaf Bukan Ranah BPN

PALANGKA RAYA,kalteng.co-Polemik terkait kepemilikan tanah wakaf di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sebangau akhirnya sampai ke Badan Pertanahan Negara (BPN) Kalimantan Tengah (Kalteng). Namun, untuk menyelesaikan kisruh tumpang-tindih administratif tanah tersebut, belum menjadi kewenangan pihak BPN untuk menangani.

Meski domain penyelesain bukan di BPN, tapi Kakanwil BPN Kalteng Elijas B Tjahajadi menegaskan, terkait dengan permasalahan tanah wakaf milik Muhammadiyah, pihaknya akan mencoba membantu semaksimal mungkin sesuai dengan kewenangan dan tugas fungsi selaku penyelenggara layanan publik di bidang pertanahan.

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Terkait masalah tumpang-tindih surat tanah wakaf, ia mengatakan, setelah berita ini diterbitkan pertama kali, ia mencoba mencermati subtansi persoalan. Kemudian berkoordiinasi dengan Kantor BPN Palangka Raya. Setelah mendapat informasi, ternyata domain kewenangan permasalahan ini belum masuk dalam ranah tugas dan fungsi serta kewajiban BPN.

“Mengapa demikian, karena dalam melaksanaan penyelenggaraan pelayanan di bidang pertanahan ada pengecualian, yaitu terkait dengan tanah kawasan hutan, setelah mengetahui lokasi yang dimaksud, ternyata masuk dalam kawasan hutan atau kawasan hutan lindung,” kata Kakanwil BPN Kalteng Elijas B Tjahajadi dalam acara silaturahmi dengan pengurus wilayah Muhammadiyah Kalteng di Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Kalteng, Kamis pagi (25/3).

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Hadir dalam forum tersebut Kakanwil BPN Kalteng Elijas B Tjahajadi beserta staf, Wakil Ketua Bidang Wakaf dan Kehartabendaan Muhammadiyah Abu Bakar, Koordinator Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Andi Wirahadi, dan Koordinator Majelis Pustaka dan Informasi H Sutransyah.

Statement-statement yang terdapat dalam pemberitaan media, lanjut Kakanwil Elijas B Tjahajadi, masih dalam domain surat keterangan tanah (SKT), surat pernyataan kepemilikan tanah (SPPT), dan surat penguasaan tanah (SPT). Legalitasnya masih dalam domain pemda di tingkat paling bawah, yakni kepala desa atau kelurahan. 

“Kalau itu memang ingin diselesiakan, untuk bisa masuk ke dalam skala administratif pelayanan BPN, maka harus dikeluarkan dahulu dari kawasan hutan, lokasi harus clear menjadi areal penggunaan lain (APL),” bebernya.

Pihaknya meyakinkan bahwa di lokasi tersebut belum ada hak yang diterbitkan. Terkait peta bidang tanah (PBT) yang sudah terbit, pihaknya melihat ada tiga PBT di lokasi yang sama. “Saya nyatakan dan tegaskan, bahwa peta bidang tanah itu bukanlah sebagai alat bukti hak,” terang Elijas.

Dari risalah penelitian data (RPD) yang dilakukan, dari tiga PBT itu, satu sudah ditutup, satu masih dalam proses yang tidak akan diterbitkan, dan satu lagi masih diminta untuk pembatalan PBT.

Elijas juga menjelaskan mengenai alasan mengapa kala itu PBT bisa diterbitkan di kawasan hutan. “Jelas itu bukan domain BPN, terkait dengan hasil PBT, petugas tidak mungkin bisa mengetahui tanpa diukur terlebih dahulu, pasti ada pengukuran,” ucapnya.

Dikatakannya, jika sesuai, barulah dipetakan. Areal itu adalah kawasan hutan. Setelah itu diketahui, tidak ada penerbitan PBT lagi. “Karena mengetahui di lokasi itu adalah kawasan hutan, yakni hutan lindung, maka dari itu kami sampaikan untuk diselesaikan terlebih dahulu tumpang tindih di atas kawasan itu,” sebutnya.

Elijas membeberkan, secara administratif lokasi itu merupakan kawasan hutan, walaupun secara fisik sudah bukan hutan lagi. Karena itu, persoalan ini bisa diselesaikan dengan mengajukan permintaan ke pemda untuk keluarkan dari kawasan penataan batas hutan.

“Jika hal itu sudah dilaksanakan, maka sudah menjadi domain kami, karena objeknya di wilayah kerja administratif BPN Kota Palangka Raya, maka tanggung jawabnya diserahkan ke sana,” paparnya.

Disebutkannya, terbitnya PBT ini karena basis data yang masih belum baik. Namun, ke depannya dipastikan akan lebih baik, karena ada rencana strategis dari kementerian dalam rangka melaksanakan layanan elektronik 2024 dengan adanya pelayanan transformasi era digital.

Hal ini menuju dengan penguatan basis data di BPN. Ini yang sedang dilakukan. Sehingga ke depannya terkait PBT dari awal sudah bisa teridentifikasi. Peta dasar kuat, peta pendaftaran pun kuat. Dalam pelaksanaan kegiatannya, dari awal sudah bisa dinyatakan tidak bisa diproses. 

Pihaknya juga meminta masyarakat mendukung program kementerian ini. Sekuat apapun basis data yang dimiliki pihaknya, masih harus diselaraskan dengan mekanisme pendaftaran tanah, agar tidak terjadi konflik.

“Mengedukasi bagimana tanda batas dipelihara, bidang tanah dimanfaatkan, dan teridentifikasi ada penguasaannya, sehingga secara de facto meyakini dan dapat diterbitkan SHM,” pungkasnya.

Terpisah, salah satu warga bernama Eldoniel ikut menyuarakan permasalahan sengketa tanah yang dialami oleh ormas keagamaan itu. Menurutnya, kasus-kasus perampasan tanah memang sangat nyata dan benar adanya.

“Jika ormas berpengaruh sebesar Muhammadiyah tak luput dari praktik SKT ganda oleh oknum yang memiliki kewenangan, apalagi masyarakat biasa, tentu rentan jadi korban, patut diduga bahwa kasus serupa tak hanya menimpa satu atau dua orang, tapi banyak orang,” ucap Edloniel, kemarin.

Lebih parah lagi, kata Eldoniel, jika oknum tersebut terkesan mengabaikan perintah resmi atasan demi mengamankan SKT ganda yang telah diterbitkan. Misalnya, kasus tanah yang dimenangkan secara perdata dan telah berkekuatan hukum tetap, tapi ajaibnya di atas tanah tersebut masih saja terbit beberapa SKT yang ditandatangani oleh ketua RT, lurah, serta camat.

Sebelumnya praktisi hukum Antonius Kristanto telah mengutarakan pentingnya koordinasi antara RT, lurah, camat, dan BPN dalam hal titik koordinat tanah. Menurut Eldoniel, hal itu merupakan keniscayaan untuk dilakukan. Akan tetapi kerja sama itu tidak akan berjalan lancar jika salah satu pihak terkesan memperlihatkan sikap tak menerima serta cenderung tak memercayai data titik koordinat resmi yang dikeluarkan oleh pihak lain.

“Pada kasus ini, kelurahan mengakui bahwa BPN lebih berwenang menentukan titik akhir koordinat tanah, artinya BPN punya kewenangan  mengoreksi dan menyempurnakan titik koordinat yang tercantum pada sebuah SKT, anehnya manakala disodori titik koordinat produk BPN, pihak kelurahan malah meminta kembali turun ke lapangan, padahal semua titik koordinat itu didapat dari lapangan, ini adalah alasan yang terkesan dibuat-buat dan tak masuk akal, cenderung tak menerima dan tak memercayai produk BPN demi membenarkan SKT ganda produk kelurahan yang diterbitkan tumpang-tindih dengan SKT lain yang lebih tua,” jelasnya.

“Berangkat dari contoh kasus carut-marut masalah tanah yang cenderung bersumber dari penerbitan SKT ganda oleh oknum ketua RT, lurah, camat, di mana penerbitannya seakan tak memiliki standar aturan, maka perlu dilakukan langkah terobosan oleh wali kota dalam hal pembinaan dan pengawasan terhadap para oknum itu, bila perlu melibatkan aparat penegak hukum,” tandasnya.

Seperti diketahui, tanah wakaf yang dihibahkan untuk Muhammadiyah di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sebangau saat ini tengah bermasalah. Terjadi tumpang-tindih kepemilikan surat atas tanah yang sedang dibangun tempat ibadah. Alhasil proses pembangunan Masjid Al Tjtihad di atas tanah tersebut menjadi terhambat. Pemicunya adalah munculnya surat keterangan tanah (SKT) dari beberapa oknum warga.

Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) Ahmad Syar’i mengeluhkan SKT ganda pada lahan wakaf Muhammadiyah yang diperuntukkan sebagai lokasi pembangunan masjid tersebut.

Ia mengatakan, lahan yang dimiliki Muhammadiyah itu merupakan hibah tanah dari Drs. H. Rinco Norkim, Drs. Imberansyah Aman Ali, Drs. H. Darwis A. Rasyid, dan Hamdani Amberi Lihi tertanggal 1 Januari 2004 dengan luas 50 hektare.

Hibah tanah kemudian berlanjut dengan pemberian surat hibah tanah yang disaksikan Lurah Sabaru kala itu. Pembuatan dokumen ikrar wakaf kepada Ketua PW Muhammadiyah pada 27 Februari 2012 ditandatangani oleh pejabat pembuat akta ikrar wakaf dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sabangau, pemberi wakaf, dan penerima wakaf. 

Dalam perkembangan selanjutnya, ada sejumlah warga yang mengklaim sebagai pemilik atas tanah tersebut. Kemudian disepakati untuk menggelar mediasi di Kantor Kecamatan Sabangau pada tahun 2015.

Lahan wakaf seluas 50 hektare yang berada di perbatasan antara Kelurahan Kalampangan dan Kelurahan Sabaru itu kemudian dibagi menjadi 30 hektare untuk PW Muhammadiyah dan 20 hektare untuk masyarakat. Saat itu kedua belah pihak telah sepakat untuk menaati keputusan rapat. Apabila ada pengingkaran terhadap hasil kesepakatan, maka akan diproses sesuai hukum yang berlaku. (oiq/yan/ce/ala)

Related Articles

Back to top button