SUDAH saatnya kita memandang Kartini sebagai manusia politik.
Istilah manusia politik saya gunakan untuk menggambarkan bagaimana Kartini sebagai sosok yang aktif melakukan kerja-kerja politik.
Mungkin ini terkesan agak janggal karena sepanjang hidupnya Kartini tidak sempat membangun/bergabung dengan organisasi apa pun.
Ia juga tidak pernah berbicara tentang bangsa dan kebangsaan dalam pengertian yang politis seperti yang di kemudian hari dilakukan oleh, misalnya, Tirtoadisoerjo, Tjokroaminoto, hingga Tan Malaka dan Soekarno.
Namun, putri dari Jepara ini sesungguhnya telah melakukan kerja-kerja politik dalam berbagai level. Begitu ia menulis, politik dengan serta-merta termuat di dalamnya.
Surat-suratnya yang mengutarakan posisi perempuan dalam kebudayaan Jawa, tentang pedihnya poligami yang dialami ibunya, juga tentang pentingnya pendidikan perempuan hingga perlunya umat Islam memahami ayat-ayat Alquran adalah kerja awal mengorganisasi pikiran ke dalam medan politik patriarki yang menguasai lingkungan rumahnya, lingkungan budayanya, hingga lingkungan bangsanya (Hindia-Belanda).
Sebagai kerja politik, ia juga melakukan pengorganisasian jaringan dengan terus merawat korespondensi dengan banyak perempuan Belanda dan sejumlah pejabat kolonial (van Kol hingga Abendanon).
Tidak ada politik tanpa berjejaring, dan seluruh dukungan yang ia terima dari orang-orang kulit putih itu, juga akses yang akhirnya bisa ia dapatkan, mesti dibaca sebagai buah dari ketangkasannya memosisikan diri di tengah konstelasi (manusia-manusia) kolonial yang satu sama lain memiliki kepentingannya sendiri.
Kemampuannya untuk menempatkan diri di tengah manusia-manusia bumiputra, dari ayahnya yang lumayan maju tapi rapuh yang ’’dipaksa’’ mengizinkannya sekolah, pamannya Ario Hadiningrat yang menulis nota progresif kepada pemerintah Hindia Belanda, hingga suaminya yang merupakan bupati juga ’’dipaksa” menyetujui opsinya tentang sekolah perempuan sebagai syarat pernikahan, adalah bukti-bukti sahih tentang kepandaian Kartini bernegosiasi. Bukankah tidak ada politik tanpa negosiasi?
Bahwa seluruh kerja-kerja politik itu masih jauh dari pengertian politik yang mewujud menjadi praktik pengorganisasian nasionalisme yang terang benderang, apalagi membuahkan gedoran politik di tingkat organisasi pemerintahan, hal itu menegaskan betapa Kartini memang terikat pada zamannya. Era ketika ia produktif menulis dan bernegosiasi, pada dekade terakhir abad 19 dan 5 tahun pertama abad 20, Hindia Belanda masih begitu ’’purba” dalam keterbukaan politik.
Ia memang melampaui zamannya dengan pikiran-pikiran yang maju, tapi ia belum mampu membelokkan arus zaman (kolonialisme) dengan tangannya sendiri.