BeritaNASIONALOPINIPOLITIKA

Membaca Kartini sebagai Manusia Politik di Tahun Politik

Kolonialisme memang tidak bisa digoyang melulu dengan syarat-syarat subjektif berupa inisiatif moral dan etik orang per orang, melainkan juga membutuhkan syarat-syarat objektif dalam berbagai bentuk: tekanan ekonomi, konstelasi di antara negara kolonial, dll.

https://kalteng.co

Kartini sebagai manusia politik ini bukanlah tawaran pembacaan yang baru-baru amat. Pramoedya Ananta Toer melalui Panggil Aku Kartini Saja (1962) sudah berusaha menjelaskan Kartini dalam konteks sosial-politik zamannya dan serta-merta menjadikannya sebagai aktivis politik antikolonialisme dan antifeodalisme.

https://kalteng.cohttps://kalteng.co

Pada kurun penerbitan buku tersebut, pemosisian Kartini sebagai manusia politik memang mendapatkan tempat dalam diskursus gerakan perempuan, terutama oleh organisasi-organisasi kiri. Namun, setelah itu, sosok Kartini kembali ’’dikandangkan” ke halaman belakang rumah, balik mengurus sumur dan dapur.

Kita perlu mengembalikan Kartini ke halaman rumah, bukan hanya ruang tamu, jika perlu ke jalanan dan ruang-ruang publik lainnya. Persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan saat ini tidak bisa diselesaikan jika Kartini, juga perempuan pada umumnya, tidak merangsek ke ruang-ruang publik.

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Menahan diri dalam keterlibatan di ruang-ruang publik, untuk membicarakan dan mengawal agenda-agenda publik, hanya membuat kaum perempuan menjadi objek percakapan dan negosiasi politik laki-laki (atau perempuan) yang agendanya regresif, alih-alih progresif.

Disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual mesti dibaca sebagai keberhasilan kaum perempuan, dengan dukungan para pria progresif, mengorganisasikan agenda perempuan yang penting dan mendesak.

UU tersebut tidak bisa dibaca semata sebagai, katakanlah, buah UU Pemilu yang mensyaratkan 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen, karena kita tahu tidak sedikit anggota parlemen perempuan yang ’’malu-malu” berjalan seiring-sejalan dengan agenda gerakan perempuan.

Keberhasilan itu mesti ditempatkan sebagai buah ketabahan dan kegigihan (gerakan) kaum perempuan merajut segala kemungkinan politik, di dalamnya termasuk bernegosiasi dengan elite-elite pemegang kunci di partai dan fraksi.

Kaum perempuan tidak bisa memasrahkan nasibnya kepada siapa pun selain dirinya sendiri. Laki-laki progresif yang selama ini mengawani kaum perempuan dalam mengusung agenda progresif jelas sangat penting sebagai kamerad strategis, tetapi mula-mula kaum perempuan perlu terus memperkuat kawanannya sendiri, memperluas front dengan mencari titik median yang bisa mempertemukan bianglala garis politik dan ideologis yang kadang pelik.

Menyongsong tahun politik, tidak ada pilihan bagi perempuan selain menjadi manusia politik. (*)

(* NAJWA SHIHAB, Pendiri Narasi

Laman sebelumnya 1 2

Related Articles

Back to top button