Perjuangan Sartika di Balik Kopi Pangku Pantura: Potret Realitas Minim Pilihan Hidup Remaja Putri di Jalur Pantura
KALTENG.CO-Film Pangku karya sutradara debutan Reza Rahadian menawarkan perspektif baru yang mendalam mengenai realitas kehidupan masyarakat pesisir di Pantai Utara (Pantura), terutama perjuangan seorang perempuan yang terhimpit keterbatasan pilihan hidup.
Sebuah mahakarya sinematik yang telah mengharumkan nama Indonesia dengan meraih empat penghargaan bergengsi di Busan International Film Festival (BIFF).
Perjalanan Sartika: Mencari Harapan di Tengah Kopi Pangku
Kisah ini berpusat pada Sartika (diperankan oleh Claresta Taufan), seorang perempuan berbadan dua yang nekat hijrah dari kota asalnya demi memulai hidup baru yang lebih baik bagi calon putranya. Langkah kakinya yang gamang akhirnya membawanya ke wilayah pesisir Pantura, tanpa sanak saudara maupun tempat bernaung.
Di tengah kebingungannya, Sartika bertemu dengan Maya (Christine Hakim), pemilik warung kopi pangku yang sedang mengalami krisis pelanggan. Tanpa pilihan lain, Sartika memutuskan untuk tinggal bersama Maya dan suaminya. Maya, yang kemudian menjadi sosok ‘orang tua’ baru bagi Sartika, merawatnya hingga putranya, Bayu (Shakeel Fauzi), lahir dan tumbuh besar.
Sebagai wujud balas budi, Sartika akhirnya bekerja sebagai pelayan di warung kopi pangku milik Maya. Inilah titik balik yang membawanya ke dalam dunia malam. Namun, di tengah keterpurukan itu, hadir Hadi (Fedi Nuril), seorang sopir truk pengangkut ikan segar yang jatuh hati pada Sartika. Cinta yang timbul di antara mereka menghadirkan secercah harapan: jalan keluar dari lingkaran kelam itu, demi masa depan Sartika dan Bayu.
Apakah kebahagiaan sejati akan berlabuh bagi Sartika?
Potret Realitas yang Menyentuh dan Minim Drama Air Mata
Setelah lebih dari dua dekade berkecimpung di dunia akting, Reza Rahadian membuktikan kecerdasannya di balik layar sebagai sutradara film panjang pertamanya. Terinspirasi dari fenomena kopi pangku yang ada di Pantura, Reza berhasil mengemas film Pangku dengan narasi yang apik dan sinematik yang kuat.
Film ini menonjolkan realita kehidupan masyarakat pesisir yang terjal dan nyata. Kepedihan yang ditampilkan oleh Reza tidak diumbar melalui adegan tangisan yang meluap-luap atau dialog yang panjang. Sebaliknya, ia memilih memotretnya melalui situasi-situasi nyata yang pilu:
- Simbologi Kepedihan: Momen Sartika harus membangunkan Bayu karena kamar tempat mereka menginap akan digunakan untuk memenuhi hasrat pelanggan.
- Simbologi Kebahagiaan: Kebahagiaan sederhana yang diwakili oleh lauk ikan goreng utuh. Bagi Sartika dan Maya, hidangan tersebut adalah sesuatu yang mahal, mewah, dan sangat membahagiakan.
“Buat saya ini akan menjadi penawaran baru di dunia perfilman Indonesia… [Reza] tidak hanya peka sebagai aktor, tapi juga sebagai manusia.” — Christine Hakim
Riset Mendalam dan Pengakuan Internasional
Kekuatan cerita dan karakter dalam Pangku tak lepas dari riset mendalam yang dilakukan Reza Rahadian bersama penulis skenario Felix K. Nesi. Mereka tinggal selama dua minggu di Pantura, berbaur langsung dengan warga setempat untuk menyerap realitas dan dilema yang dialami.
Riset ini menghasilkan kesadaran universal yang mendasari film ini: memiliki pilihan hidup adalah sebuah keistimewaan. Banyak orang yang harus menjalani hidup apa adanya karena memang tidak memiliki opsi lain.
“Roots-nya adalah perjuangan seorang perempuan yang tidak memiliki banyak pilihan, dalam situasi yang sulit, dan kemampuan untuk bertahan hidup. Di mana buat saya itu sangat universal.” — Reza Rahadian
Penggunaan lokasi syuting di tempat asli, tanpa membangun set, turut memperkuat realitas kehidupan di Pantura. Hal ini sengaja dilakukan demi mendapatkan situasi yang ril, meskipun di sisi lain juga dilatarbelakangi oleh keterbatasan budget.
Karya debut Reza ini terbayarkan dengan tuntas. Film Pangku sukses meraih empat penghargaan di Busan International Film Festival (BIFF), membuktikan bahwa ceritanya—tentang perjuangan, pengorbanan, dan kemanusiaan—mampu menembus batas geografis dan sosial.
Film Pangku adalah sebuah cerminan sosial yang jarang tersorot, menawarkan pengalaman menonton yang menyentuh, realistis, dan meninggalkan perenungan panjang. (*/tur)




