BeritaNASIONAL

PP 45/2025: Aturan Denda Sawit Rp 25 Juta Per Ha Dinilai “Mencekik” Industri dan Abaikan Hak Rakyat

KALTENG.CO-Pemerintah telah meresmikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025, yang merevisi PP 24 Tahun 2021, dengan menetapkan sanksi denda yang sangat tinggi—mencapai Rp 25 juta per hektare per tahun—bagi pihak yang dinilai melanggar dalam industri sawit, khususnya yang beroperasi di kawasan hutan.

Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, aturan baru ini justru menuai kritik tajam. Prof Dr Ir Budi Mulyanto, Guru Besar IPB di bidang Kebijakan, Tata Kelola Pertanahan, Ruang dan Sumber Daya Alam (SDA), menilai PP 45/2025 menghadirkan suasana yang “lebih menyeramkan” dan berpotensi “membunuh industri sawit” di Indonesia.

Kekuasaan Super Satgas PKH yang Memicu Kekhawatiran

Menurut Prof Budi Mulyanto, PP 45/2025 secara signifikan memperluas kekuasaan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Kewenangan Satgas PKH kini mencakup berbagai tindakan ekstrem yang dianggapnya membuat pelaku industri sawit semakin tertekan.

“PP 45/2025 memperluas kekuasaan Satgas PKH. Ada istilah penguasaan kembali, paksaan pemerintah, bahkan kewenangan untuk mencabut izin, memblokir rekening, sampai mencegah orang keluar negeri,” ungkap Budi.

Hal yang paling disorot adalah ancaman double jeopardy: “Walaupun denda sudah dibayar, lahan tetap bisa diambil kembali. Ini yang membuat horor, pelaku industri sawit semakin stres,” tambahnya.


Denda Rp 25 Juta: Angka yang Dinilai Tidak Masuk Akal

Besaran denda sebesar Rp 25 juta per hektare per tahun juga dikritik keras. Prof Budi Mulyanto menghitung angka ini 5–7 kali lipat lebih besar dari sanksi administratif dalam aturan sebelumnya (PP No 24 Tahun 2021).

“Besaran denda ini banyak dikomentari sebagai pembunuhan industri sawit. Bukan hanya menimbulkan ketakutan, tapi juga citra buruk investasi di Indonesia,” ujarnya.

Ia mempertanyakan dasar ilmiah di balik penetapan angka Rp 25 juta, sebab seharusnya besaran denda dapat dievaluasi berdasarkan nilai atas kinerja lahan secara saintifik. “Nilai-nilai itu sebenarnya secara scientific sudah ada. Lahan misalnya lahan hutan dengan intensitas pohon segini dan seterusnya kan bisa dihitung. Tiba-tiba muncul angka Rp 25 juta itu pertanyaan besar,” paparnya.


Akar Masalah: Penetapan Kawasan Hutan yang “Serampangan”

Prof Budi Mulyanto menekankan bahwa persoalan fundamentalnya bukanlah pada PP 45/2025, melainkan pada penetapan kawasan hutan yang sejak awal tidak sesuai prosedur hukum.

Menurut UU 41/1999 tentang Kehutanan, penunjukan kawasan hutan harus didahului dengan survei sosial, ekonomi, dan penguasaan tanah masyarakat. Namun, praktik di lapangan menunjukkan penunjukan kawasan dilakukan tanpa survei menyeluruh, berakibat fatal: tanah rakyat, desa, bahkan lahan program transmigrasi yang sudah bersertifikat ikut dimasukkan ke kawasan hutan.

“Ada 30 ribu desa, bahkan tanah transmigran yang sudah bersertifikat masuk kawasan hutan. Itu bukti penetapan kawasan dilakukan serampangan, tidak sesuai UU. Inilah akar persoalan yang membuat lahan sawit masyarakat dan perusahaan tiba-tiba dianggap melanggar,” jelasnya.

Ancaman Terhadap Hak Rakyat

Budi juga menyoroti dampak aturan ini pada masyarakat luas. Karena hukum berlaku untuk semua, kebun milik masyarakat yang berada di area yang diklaim sebagai kawasan hutan pun berpotensi terkena denda dan pengambilalihan. Ini dinilai mengabaikan hak rakyat yang telah mengelola tanah jauh sebelum adanya penetapan kawasan hutan dan bertentangan dengan UU Pokok Agraria serta HAM.


1 2Laman berikutnya

Related Articles

Back to top button