BeritaNASIONALUtama

Raja Ampat Terancam! Pembelaan Menteri Bahlil Terhadap Tambang Nikel PT Gag Nikel Menuai Kecaman

KALTENG.CO-Narasi “surga dunia sedang digerogoti” semakin nyata di Raja Ampat, namun pembelaan pemerintah terhadap aktivitas tambang nikel justru memicu kontroversi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, secara terbuka membela operasi tambang nikel milik PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk, yang beroperasi di Raja Ampat. Argumen utamanya adalah lokasi tambang yang dianggap jauh dari area wisata populer.

Bahlil menyebut bahwa lokasi penambangan berada di Pulau Gag, dengan jarak sekitar 30 sampai 40 kilometer dari Pulau Piaynemo, salah satu ikon pariwisata bahari Raja Ampat. “Tambangnya di Pulau Gag, bukan di Piaynemo. Saya sering ke sana,” kata Bahlil, seolah jarak tersebut menjadi jaminan tidak adanya dampak signifikan.

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Namun, pernyataan ini justru menuai kecaman luas dari publik, aktivis lingkungan, dan masyarakat adat. Banyak yang mempertanyakan validitas argumen tersebut. Hanya 40 kilometer dari jantung pariwisata laut Indonesia, dan itu dianggap tidak masalah?

Jarak 40 KM: Argumen yang Dipertanyakan dan Klarifikasi yang Terlambat

Setelah munculnya kecaman publik dan pemberitaan yang menyoroti kerusakan ekosistem laut akibat tambang nikel, alih-alih melakukan refleksi mendalam, pemerintah justru sibuk memberikan klarifikasi. Bahlil berulang kali menekankan bahwa lokasi tambang bukan di pulau wisata, meminta publik untuk tidak panik.

“Pertanyaannya, kenapa baru sekarang kerusakannya muncul? Kenapa masyarakat adat menolak? Kenapa ekosistem laut mulai berubah?” ucap seorang aktivis lingkungan, mempertanyakan logika yang digunakan. Para pegiat lingkungan mempertanyakan sejak kapan logika “asal bukan di tempat wisata” dapat membenarkan perusakan alam. Ekosistem laut Raja Ampat tidak mengenal batas administratif atau kilometer; kerusakan terumbu karang, polusi logam berat, dan gangguan terhadap biota laut dapat menyebar luas, jauh melampaui batas-batas yang ditetapkan.

“Cuci Tangan” Izin Lama: Sebuah Kilas Balik yang Tak Menjawab Kekhawatiran

Yang lebih mengejutkan, meskipun aktivitas tambang PT Gag Nikel sempat dihentikan sementara karena dituding merusak salah satu kawasan konservasi laut terindah di dunia, Bahlil buru-buru meluruskan bahwa izin tambang tersebut sudah ada sejak tahun 1998. Ia bahkan menegaskan bahwa ia belum masuk kabinet saat izin itu dikeluarkan, seolah ingin “cuci tangan” atas kekacauan yang sedang berlangsung.

Namun, klaim tidak terlibat di masa lalu ini justru memicu pertanyaan baru dari publik: Apakah klaim tersebut cukup untuk melegitimasi kerusakan yang terjadi hari ini? Jika izin sudah ada sejak lama, mengapa kerusakan baru terlihat atau menjadi sorotan sekarang?

Isu ini semakin memanas dengan desakan dari berbagai pihak, termasuk selebritas seperti Denny Sumargo yang meminta Prabowo Subianto untuk menyelamatkan Raja Ampat dari ulah penambang nikel. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, juga turut menyuarakan kekhawatirannya akan ancaman amukan tambang nikel terhadap surga terakhir di bumi ini.

Raja Ampat: Lebih dari Sekadar Kilauan Nikel

Di balik janji hilirisasi dan investasi yang digaungkan untuk nikel, penting untuk diingat bahwa Raja Ampat bukan sekadar tanah kosong yang bisa dieksploitasi. Di sana ada laut yang hidup, ekosistem yang rentan, serta masyarakat adat yang kehidupannya sangat bergantung pada kelestarian alam. Reputasi Indonesia sebagai surga bahari dunia juga dipertaruhkan.

Meskipun Bahlil mengaku sering berkunjung ke Raja Ampat, pernyataannya tidak menjawab kekhawatiran warga, pegiat lingkungan, dan masyarakat adat yang sejak lama menolak keberadaan tambang di kawasan ini.

“Kalau memang tidak merusak, kenapa operasional tambang dihentikan sementara? Ada apa yang sedang ditutupi?” ujar seorang aktivis lingkungan, menyuarakan keraguan publik terhadap transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam menjaga kelestarian Raja Ampat.

Kontroversi ini menggarisbawahi urgensi bagi pemerintah untuk lebih serius dalam meninjau ulang kebijakan tambang di wilayah konservasi, serta mendengarkan aspirasi masyarakat lokal dan para ahli lingkungan demi keberlanjutan masa depan Raja Ampat. (*/tur)

Related Articles

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co
Back to top button