Menanggapi persoalan ini, LBH Palangka Raya mengeluarkan tiga pernyataan sikap. Di antaranya, menyatakan putusan hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Bun dalam memutus perkara nomor 233/Pid.B/LH/2020/PN Pbu dianggap tidak memperhatikan aspek kerugian lingkungan yang terungkap dalam fakta-fakta persidangan.
Tidak dipertimbangkannya aspek kerusakan lingkungan akibat kebakaran lahan ini dianggap LBH Palangka Raya sebagai cerminan lemahnya perlindungan lingkungan hidup di Provinsi Kalimantan Tengah dan menyebabkan rentannya hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat bagi masyarakat Kalimantan Tengah.
Selain itu, disebutkan juga bahwa putusan nomor 233/Pid.B/LH/2020/PN Pbu menjadi pertanda buruk bagi penegakan hukum lingkungan di Provinsi Kalimantan Tengah. Terdapat perbedaan perlakuan dalam menegakkan aturan hukum terhadap masyarakat dan terhadap pihak perusahaan.
“Putusan ini bisa dimaknai sebagai kekuatan modal bisa melindungi perusahaan dari jerat hukum, sedangkan masyarakat umum mudah divonis bersalah,” ungkap Aryo Nugroho dalam rilis.
Selain itu, pertimbangan majelis hakim dalam putusan nomor 233/Pid.B/LH/2020/PN Pbu yang menyatakan bahwa peristiwa kebakaran tersebut merupakan peristiwa bencana alam atau force majeur, dianggap oleh LBH Palangka Raya sebagai pertimbangan yang sangat keliru.