KALTENG.CO-Tindakan Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan dalam melakukan penyitaan dan penyegelan lahan sawit yang dianggap ilegal menuai sorotan tajam.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), I Gde Pantja Astawa, memberikan pandangan yuridis yang kritis terhadap langkah tersebut.
Ia menilai adanya potensi cacat hukum karena tidak sesuai dengan prosedur pengukuhan kawasan hutan yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Kehutanan dan bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Pakar Hukum Unpad: Penyitaan Lahan Sawit Satgas Tidak Sesuai UU Kehutanan dan Putusan MK
Menurut Prof. Pantja Astawa, tindakan penyitaan dan penyegelan lahan sawit seluas 1 juta hektare tersebut berpotensi cacat hukum karena tidak didasarkan pada pengukuhan kawasan hutan yang sah.
Ia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011 yang dengan jelas menyatakan bahwa penunjukan kawasan hutan tidak dapat disamakan dengan pengukuhan kawasan hutan.
“Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemeritahan otoriter,” tegas Prof. Pantja dalam keterangannya (14/4/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa UU Kehutanan Pasal 15 secara tegas mengatur empat tahapan pengukuhan kawasan hutan yang harus dilalui, yaitu: (1) Penunjukan kawasan hutan; (2) Penetapan batas kawasan hutan; (3) Pemetaan kawasan hutan; dan (4) Penetapan kawasan hutan secara resmi. Prof. Pantja mempertanyakan apakah tahapan ini telah dilalui sebelum tindakan penyitaan dan penyegelan dilakukan.
“Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan MK tersebut, apakah penyitaan dan penyegelan 1 juta hektare kebun sawit di kawasan yang diklaim sebagai kawasan hukum, sebelumnya sudah ada pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan melalui empat tahap yang diperintahkan oleh Pasal 15 UU Kehutanan?” tanyanya.
Penyitaan Dinilai Tidak Fair dan Bertentangan dengan UU Cipta Kerja
Prof. Pantja menilai tindakan penyitaan dan penyegelan sebagai tindakan yang tidak fair jika kawasan tersebut belum dikukuhkan sebagai kawasan hutan sesuai dengan UU Kehutanan. Ia juga menyoroti bahwa UU Cipta Kerja serta PP No. 24 Tahun 2021 dan PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah, tidak memiliki klausul mengenai penyitaan dan penyegelan.
“Ditambah lagi baik UU Cipta Kerja maupun PP No.24 Tahun 2021 dan PP No. 43 Tahun 2021 tersebut sama sekali tidak ada klausul penyitaan dan penyegelan,” jelasnya.
Satgas Hanya Berwenang Lakukan Paksaan Administratif, Bukan Penyitaan Pidana
Lebih lanjut, Prof. Pantja menjelaskan bahwa Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk berdasarkan Perpres No. 5 Tahun 2025 hanya memiliki kewenangan dalam ranah hukum administrasi negara, yaitu “bestuursdwang” (paksaan pemerintahan) berupa penertiban pelanggaran izin, dan “dwangsom” (denda administratif). Tindakan penyitaan dan penyegelan, menurutnya, merupakan tindakan politional pro justitia dalam konteks penegakan hukum pidana.
Ia menilai bahwa tindakan Satgas bertentangan dengan UU Cipta Kerja dan kedua PP yang secara hierarki lebih tinggi dari Perpres No. 5 Tahun 2025. Oleh karena itu, tindakan Satgas berpotensi batal demi hukum atau dapat dibatalkan melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Ketidakpastian Hukum Ancam Investasi dan Industri Sawit
Prof. Pantja juga menyoroti dampak negatif kebijakan pemerintah yang berubah-ubah, yang menciptakan ketidakpastian hukum dan berpotensi menghambat investasi di Indonesia. Ia juga mengingatkan peran penting industri kelapa sawit dalam pembangunan ekonomi nasional.
Presiden Prabowo Ungkap Penyitaan 1 Juta Hektare Lahan Sawit Bermasalah
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa Satgas telah menyita 1 juta hektare kebun sawit yang dinilai bermasalah dan berpotensi bertambah menjadi 2 juta hektare. Presiden menyatakan bahwa tindakan ini merupakan tindak lanjut dari laporan lembaga penegak hukum terkait 3,7 juta hektare kebun sawit yang melanggar aturan.
DPR Minta Pemerintah Pahami Persoalan dan Kedepankan Solusi Administratif
Anggota Komisi IV DPR, Firman Soebagyo, meminta pemerintah memahami akar permasalahan jutaan hektare lahan sawit ilegal di kawasan hutan, termasuk adanya andil kesalahan kebijakan di masa lalu. Ia menyarankan agar penyelesaian masalah ini lebih mengedepankan solusi administratif, seperti pemutihan keterlanjuran, daripada sanksi pidana.
Pandangan yuridis dari Guru Besar Unpad, I Gde Pantja Astawa, memberikan perspektif penting terkait legalitas tindakan Satgas Penertiban Kawasan Hutan dalam menyita lahan sawit.
Sorotan terhadap potensi cacat hukum, ketidaksesuaian dengan UU Kehutanan dan Putusan MK, serta perbedaan kewenangan Satgas dengan tindakan penyitaan pidana, menjadi poin krusial yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan hukum terkait kawasan hutan dan industri kelapa sawit. (*/tur)