KALTENG.CO-Polemik internal yang melanda tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terkait penerimaan izin konsesi tambang dari pemerintah kini memasuki babak baru.
Salah satu tokoh paling senior dan berpengaruh, Mustasyar PBNU KH Said Aqil Siroj, angkat bicara dan memberikan saran tegas: konsesi tambang tersebut sebaiknya dikembalikan kepada pemerintah.
Saran krusial ini disampaikan Kiai Said saat menghadiri silaturahim ulama di lingkungan Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pada Sabtu (6/12/2025).
Langkah pengembalian ini, menurutnya, adalah jalan terbaik dan paling penting untuk menghindari mudarat yang semakin nyata bagi jam’iyah serta menjaga ketenangan dan marwah internal organisasi.
Berawal dari Apresiasi, Berakhir dengan Konflik
Kiai Said tidak menampik bahwa inisiatif pemerintah memberikan konsesi tambang kepada organisasi keagamaan, termasuk NU, pada awalnya adalah bentuk penghargaan dan apresiasi negara atas kontribusi besar Nahdlatul Ulama. Kala itu, ia melihat kebijakan tersebut sebagai peluang positif untuk memperkuat kemandirian ekonomi organisasi.
“Saya sejak awal menghormati inisiatif pemerintah. Itu bentuk penghargaan yang baik,” ujar Kiai Said.
Awalnya, kebijakan ini dinilai tepat, selama dikelola dengan tata kelola yang kuat dan mampu membawa manfaat langsung bagi seluruh warga NU. Namun, realitas yang berkembang dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan dinamika yang berbeda jauh dari harapan awal.
⚠️ Manfaat Tergerus Mudarat yang Lebih Besar
Sejumlah persoalan internal di PBNU, perdebatan sengit mengenai tata kelola konsesi tambang, serta polemik yang melebar luas ke ruang publik, telah menimbulkan kegaduhan. Situasi ini dinilai berpotensi merugikan dan mengaburkan fokus utama organisasi.
“Tetapi melihat apa yang terjadi belakangan ini, konflik semakin melebar, dan itu membawa madharat yang lebih besar daripada manfaatnya. Maka jalan terbaik adalah mengembalikannya kepada pemerintah,” tegas Ketua Umum PBNU periode 2015–2021 itu.
Menurut Kiai Said, sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah (Organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan), NU memiliki mandat spiritual dan sosial yang amat besar. Oleh karena itu, organisasi harus menjauhi aktivitas yang berpotensi:
- Menimbulkan konflik internal yang merusak persatuan.
- Merusak marwah organisasi dan memunculkan persepsi negatif publik.
- Menyeret jam’iyah ke dalam dinamika bisnis dan politik yang berisiko tinggi.
Hal-hal tersebut dinilai dapat secara fatal mengaburkan prioritas besar NU dalam bidang pendidikan, dakwah, kesehatan, dan pemberdayaan umat.
🎯 Fokus Kembali pada Khittah Pendirian
Kiai Said menekankan bahwa NU adalah rumah besar umat yang harus dijaga dari urusan yang membawa kegaduhan. Ajaran fundamental dalam Islam, menurutnya, menggariskan: jika suatu urusan membawa lebih banyak mudarat (kerugian/keburukan), maka tinggalkan.
“NU ini rumah besar umat. Jangan sampai terseret pada urusan yang membawa kegaduhan dan menjauhkan kita dari khittah pendirian. Kalau sebuah urusan membawa lebih banyak mudarat, maka tinggalkan. Kembalikan supaya NU fokus pada tugas-tugas sucinya,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kemajuan dan keberkahan warga NU tidak bergantung pada konsesi tambang, melainkan pada penguatan nilai-nilai inti dan layanan keumatan, antara lain:
- Penguatan pendidikan pesantren.
- Pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
- Pengembangan program beasiswa dan kesehatan.
- Digitalisasi layanan umat.
“Keberkahan NU itu dari ketulusan, dari amanah, dari keilmuan. Bukan dari proyek tambang. Kita bisa maju tanpa itu semua, asal tata kelola dan pelayanan ke umat diperkuat,” pungkas Kiai Said Aqil Siroj. (*/tur)




