Ia membeberkan, masyarakat memiliki tiga sertifikat yang dikeluarkan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2003 dan 2004, sedangkan pihak perusahan mulai membuka lahan tersebut pada tahun 2004 dan melakukan penanaman tahun 2006. Jika dihintung dari tahun penanaman, sudah berlangsung 15 tahun.
“Kami memiliki tiga sertifikat yaitu sertifikat lahan pekarangan, lahan I, dan lahan II. Yang digarap perusahaan seluas 93 hektare itu berada di lahan II. Kalau kami menuntut ganti rugi selama 10 tahun saja sebesar Rp 10 miliar, kami pikir perusahaan tidak rugi,” ujarnya.
Menurut Trimo, sebelumnya ia pernah menyampaikan kepada pihak perusahaan, akan tetapi tak ada respons. Sudah tiga tahun ia berjuang agar masyarakat mendapatkan ganti rugi dan pengembalian lahan dari pihak perusahaan. Setelah ia memasukkan laporan ke DPRD Kotim, barulah mendapat tanggapan.
“Saya berharap dalam rapat dengar pendapat nanti, apa yang menjadi keinginan masyarakat dapat dipenuhi oleh pihak perusahaan, supaya persoalan ini bisa selesai, karena kalau dibiarkan berlarut-larut dikhawatirkan suatu saat akan menjadi bom waktu,” ungkapnya.
Ia juga menceritakan bahwa lahan tersebut diberikan kepada warga transmigrasi Desa Sumber Makmur, Kecamatan Telawang pada tahun 1996. Warga pun sudah menggarap lahan tersebut. Setelah tujuh tahun barulah mendapatkan sertifikatnya.