Alat Perekam Transaksi Usaha Pilot Project Pemko, Pertama se-Kalteng
PALANGKA RAYA, kalteng.co – Dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak dan retribusi daerah, di bawah kepemimpinan Wali Kota Palangka Raya Fairid Naparin, Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kota Palangka Raya memasang alat perekam transaksi usaha di tempat usaha kuliner, cafe dan hiburan. Penggunaan alat ini adalah pilot project Pemerintah Kota (Pemko) melalui BPPRD, pertama se-Kalimantan Tengah (Kalteng).
Kepala BPPRD Kota Palangka Raya, Aratuni Djaban mengatakan, bantuan sebanyak 35 alat perekam transaksi usaha yang diserahkan Bank Kalteng ke BPPRD Palangka Raya pada Kamis (4/3/2021) sudah mulai dipasang sejak kemarin. Alat tersebut akan dipasang di tempat usaha kuliner yang ada di Taman Kuliner Tunggal Sangomang.
“Alat ini konsepnya segala sesuatunya dengan internet, artinya kita melakukan control by sistem, jadi tidak ada manipulasi pajak, artinya kami meminimalkan sekecil-kecilnya kebocoran pajak,” ucap Aratuni, Kamis (4/3/2021).
Menurut dia, dengan menggunakan alat tersebut, maka keuntungan bagi pihaknya adalah bisa menggambarkan real pendapatan pajak yang bisa disumbangkan masyarakat.
Selain itu, kelebihan lainnya dengan menggunakan alat tersebut, wali kota Palangka Raya dan Kepala BPPRD bisa secara langsung memonitor melihat angka pendapatan pajak secara langsung melalui handphone.
“Sebelumnya BPPRD Palangka Raya sudah menyosialisasikan pemasangan alat ini kepada pengusaha tahun lalu,” tambahnya.
Ia juga menjelaskan, pajak sangat berkeadilan. Pasalnya, khusus untuk kuliner atau restoran, perorangan atau badan usaha yang melakukan penjualan makanan di tempat maupun di luar, yang omzetnya di atas Rp200 ribu rupiah perhari wajib membayar pajak.
Jika dia memperoleh pendapatan Rp6 juta perbulan artinya rata-rata Rp200 ribu perhari sampai Rp15 juta perbulan dikenakan pajak 5 persen. Di atas Rp15 juta perbulan dikenakan pajak 10 persen.
“Jika kurang dari itu maka tidak perlu dibayarkan pajaknya. Pertanyaannya, dibilling pajaknya kan pasti 10 persen, tidak 5 persen, lalu bagaimana jika mereka menghasilkan Rp5.500.000 satu bulan, setelah tutup buku akhir bulan, ya mereka tidak bayar pajak, hanya laporan itu harus ada, yang dibuktikan dengan billing transaksi,” terangnya.
Kemudian, lanjut dia, pajak 10 persen yang sudah dipungut oleh restoran atau pelaku usaha kuliner ke konsumen tersebut diberikan porporasi, tanda bahwa itu sah untuk digunakan pengusaha setempat.
”Ini lah unsur keadilan dari pemerintah, anggaplah pemerintah membangun dan memberikan peluang bagi pelaku usaha. Ini juga yang dikatakan keringanan pajak,” tandasnya. (aza)