Obligasi Ritel Pilihan Paling Seksi di Tahun Ini
JAKARTA, Kalteng.co – Obligasi ritel layak dilirik pada masa pandemi. Imbal balik yang tetap atau fixed rate dan pajak yang turun menjadi faktornya. Apalagi, tren suku bunga deposito belum menunjukkan kenaikan.
Wealth Business Head Bank Mandiri Region VIII Lucia Ike Purwandini menyatakan, obligasi hampir selalu dibandingkan dengan deposito.
”Nasabah biasanya mempertimbangkan lebih enak deposito atau bond,’’ ucapnya.
Menurut dia, ada satu hal yang membuatnya yakin bahwa obligasi lebih menarik tahun ini. Pertama, suku bunga acuan BI sedang rendah. Karena itu, beberapa produk obligasi bakal punya keuntungan lebih tinggi daripada deposito.
Kedua, pemangkasan pajak obligasi dari 15 persen menjadi 10 persen. Itu artinya, pajak surat utang hanya setengah dari deposito yang mencapai 20 persen. Kebijakan itu bakal berlaku pada Agustus nanti. ”Dua hal tersebut membuat obligasi jelas menarik untuk menjadi produk investasi tahun ini,” katanya.
Ike menyatakan, obligasi yang ditetapkan dalam fixed rate, antara lain, Obligasi Ritel Indonesia (ORI) atau Sukuk Ritel (SR). Imbal hasilnya dari bunga itu dibagikan setiap bulan selama kontrak ORI berlangsung.
“Itu artinya, keuntungan kita sudah ditentukan. Yang jadi masalah, kalau suku bunga acuan BI meninggi, artinya perbedaan obligasi dan produk tabungan seperti deposito bakal menipis,” ujarnya.
Produk surat utang biasanya juga bebas diperdagangkan di pasar sekunder. Dengan demikian, harganya bisa naik atau turun. Jika kebanjiran peminat, harganya bisa terkerek. Sebaliknya, harganya anjlok saat banyak yang menjual. Misalnya, selisih bunga deposito dan obligasi hanya 1 persen. Kemudian banyak orang yang menjual bonds. Maka, nilai surat utang yang awalnya Rp 1 juta per unit bisa turun.
Ike menyatakan bahwa margin naik dan turun pasar sekunder bisa sampai 3–4 persen. ”Risiko ini akhirnya juga menjadi permainan investor. Investor yang jago menebak kapan jual dan beli lagi akhirnya tak hanya dapat yield (kupon, Red), tetapi capital gain (untung dari menjual obligasi, Red),” ungkapnya.
Kemudian, ada obligasi floating rate. Para investor produk itu berharap suku bunga acuan BI meninggi. Sebab, keuntungan mereka bakal bertambah seiring dengan kenaikan suku bunga. Kelemahannya, produk seperti Saving Bond Ritel (SBR) atau Sukuk Tabungan (ST) tak dapat diperjualbelikan.
Itu artinya, obligasi tersebut diperuntukkan kepada orang yang memang ingin menyimpan uang dan mendapatkan cuan sesuai dengan perkembangan ekonomi.
”Apalagi, untuk obligasi keluaran pemerintah, risiko gagal bayar tidak ada,” jelasnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menuturkan, dinamika pasar obligasi dipengaruhi dua faktor utama. Yakni, suku bunga bang sentral dan inflasi. Sejak Januari 2021, suku bunga acuan Bank Indonesia 7-Day (Reverse) Repo Rate (BI-7DRR) tetap rendah. Seiring pemulihan ekonomi nasional, BI-7DRR diproyeksi meningkat pada 2022.
Menurut Bhima, jika ingin membeli obligasi, sebaiknya investor menunggu pada semester II tahun ini untuk menanti kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed). Itu paling krusial. Sebab, bank sentral tersebut memiliki hubungan dan memengaruhi kebijakan bank sentral negara emerging market, termasuk Indonesia.
Peneliti Associate Institute for Development of Economics and Finance (Indef) itu menyebutkan, obligasi pemerintah paling diminati para investor. Rata-rata dengan tenor 10 tahun memiliki imbal hasil 6,4 persen. Potensi terjadi gagal bayar sangat kecil.(tur)
JAKARTA, Kalteng.co – Obligasi ritel layak dilirik pada masa pandemi. Imbal balik yang tetap atau fixed rate dan pajak yang turun menjadi faktornya. Apalagi, tren suku bunga deposito belum menunjukkan kenaikan.
Wealth Business Head Bank Mandiri Region VIII Lucia Ike Purwandini menyatakan, obligasi hampir selalu dibandingkan dengan deposito.
”Nasabah biasanya mempertimbangkan lebih enak deposito atau bond,’’ ucapnya.
Menurut dia, ada satu hal yang membuatnya yakin bahwa obligasi lebih menarik tahun ini. Pertama, suku bunga acuan BI sedang rendah. Karena itu, beberapa produk obligasi bakal punya keuntungan lebih tinggi daripada deposito.
Kedua, pemangkasan pajak obligasi dari 15 persen menjadi 10 persen. Itu artinya, pajak surat utang hanya setengah dari deposito yang mencapai 20 persen. Kebijakan itu bakal berlaku pada Agustus nanti. ”Dua hal tersebut membuat obligasi jelas menarik untuk menjadi produk investasi tahun ini,” katanya.
Ike menyatakan, obligasi yang ditetapkan dalam fixed rate, antara lain, Obligasi Ritel Indonesia (ORI) atau Sukuk Ritel (SR). Imbal hasilnya dari bunga itu dibagikan setiap bulan selama kontrak ORI berlangsung.
“Itu artinya, keuntungan kita sudah ditentukan. Yang jadi masalah, kalau suku bunga acuan BI meninggi, artinya perbedaan obligasi dan produk tabungan seperti deposito bakal menipis,” ujarnya.
Produk surat utang biasanya juga bebas diperdagangkan di pasar sekunder. Dengan demikian, harganya bisa naik atau turun. Jika kebanjiran peminat, harganya bisa terkerek. Sebaliknya, harganya anjlok saat banyak yang menjual. Misalnya, selisih bunga deposito dan obligasi hanya 1 persen. Kemudian banyak orang yang menjual bonds. Maka, nilai surat utang yang awalnya Rp 1 juta per unit bisa turun.
Ike menyatakan bahwa margin naik dan turun pasar sekunder bisa sampai 3–4 persen. ”Risiko ini akhirnya juga menjadi permainan investor. Investor yang jago menebak kapan jual dan beli lagi akhirnya tak hanya dapat yield (kupon, Red), tetapi capital gain (untung dari menjual obligasi, Red),” ungkapnya.
Kemudian, ada obligasi floating rate. Para investor produk itu berharap suku bunga acuan BI meninggi. Sebab, keuntungan mereka bakal bertambah seiring dengan kenaikan suku bunga. Kelemahannya, produk seperti Saving Bond Ritel (SBR) atau Sukuk Tabungan (ST) tak dapat diperjualbelikan.
Itu artinya, obligasi tersebut diperuntukkan kepada orang yang memang ingin menyimpan uang dan mendapatkan cuan sesuai dengan perkembangan ekonomi.
”Apalagi, untuk obligasi keluaran pemerintah, risiko gagal bayar tidak ada,” jelasnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menuturkan, dinamika pasar obligasi dipengaruhi dua faktor utama. Yakni, suku bunga bang sentral dan inflasi. Sejak Januari 2021, suku bunga acuan Bank Indonesia 7-Day (Reverse) Repo Rate (BI-7DRR) tetap rendah. Seiring pemulihan ekonomi nasional, BI-7DRR diproyeksi meningkat pada 2022.
Menurut Bhima, jika ingin membeli obligasi, sebaiknya investor menunggu pada semester II tahun ini untuk menanti kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed). Itu paling krusial. Sebab, bank sentral tersebut memiliki hubungan dan memengaruhi kebijakan bank sentral negara emerging market, termasuk Indonesia.
Peneliti Associate Institute for Development of Economics and Finance (Indef) itu menyebutkan, obligasi pemerintah paling diminati para investor. Rata-rata dengan tenor 10 tahun memiliki imbal hasil 6,4 persen. Potensi terjadi gagal bayar sangat kecil.(tur)