KALTENG.CO-Dampak perubahan iklim benar-benar sudah berada di depan mata. Dalam beberapa tahun belakangan ini, peristiwa ala mini mengalami tren peningkatan di Indonesia.
Dua dampak perubahan iklim yang terjadi sekarang adalah cuaca ekstrem dan kejadian ekstrem.
Dalam beberapa tahun terakhir, peristiwa alam ekstrem di Indonesia mengalami peningkatan. Mulai dari curah hujan yang sangat tinggi, panas berkepanjangan, dan lainnya. Kondisi tersebut memicu bencana alam sampai merenggut korban jiwa.
Banyaknya kasus peristiwa alam ekstrem itu menjadi salah satu kajian peneliti di Badam Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Peneliti Ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin menuturkan, terjadi perubahan pola cuaca ekstrem di Indonesia. Kondisi indi dipicu perubahan iklim, yaitu pemanasan global.
Cuaca ekstrem ditunjukkan melalui frekuensi hujan ekstrem yang kerap terjadi di wilayah Indonesia, khususnya untuk wilayah Sumsel, Lampung, Jawa bagian barat dan tengah.
“Sementara itu, untuk wilayah Jawa bagian timur, Lombok, Bali, NTB, NTT, hujan ekstrem meningkat selama musim kemarau,” katanya dalam seminar nasional yang bertajuk Memperkuat Pentahelix Penanggulangan Bencana dalam Membangun Resiliensi Masyarakat secara virtual Rabu (5/4/2023).
Menurut Erma, terdapat perbedaan antara cuaca ekstrem dan kejadian ekstrem. Cuaca ekstrem biasanya terjadi untuk skala yang lokal di suatu wilayah tertentu, dan memiliki durasi kejadian yang singkat, kurang dari sejam atau maksimal sekitar dua hingga tiga jam. Sedangkan itu, kejadian ekstrem secara waktu lebih lama.
Kajian terbaru yang dilakukan oleh tim di BRIN menunjukkan, kejadian ekstrem ini mengalami peningkatan, karena faktor-faktor penyebabnya semakin intensif terjadi di Indonesia.
Studi tersebut menjelaskan mengenai mekanisme terbentuknya cikal bakal bibit Siklon Seroja, yang tumbuh dari badai vorteks intensif selama 10 hari di perairan Banda, dan berlanjut terus menjadi siklon Seroja.
Mekanisme terbentuknya siklon Seroja ini ditunjukkan dalam studi dari tim di BRIN memiliki frekuensi selama dua tahun sekali. Hal ini cukup mengejutkan karena studi sebelumnya mengonfirmasi peluang siklon terbentuk di dekat ekuator hanya 100 sampai 400 tahun sekali.
Ia mengatakan cuaca ekstrem kerap memicu bencana alam mulai dari skala kecil sampai besar. Perlu kolaborasi lintas sektor, termasuk perguruan tinggi untuk mitigasi bencana alam.
Di tempat terpisah, Rektor Universitas Budi Luhur Wendi Usino mengatakan, kampusnya memiliki perhatian besar terhadap urusan kebencanaan.
Sebab setiap kali terjadi bencana alam, terkadang penanganannya kurang maksimal. Dia mengatakan sejak semester gasal kemarin, mereka menjalankan program studi baru, yaitu Manajemen Bencana untuk jenjang sarjana (S1).
“Program ini yang pertama dan satu-satunya di Indonesia,” katanya dalam prosesi wisuda mahasiswa Universitas Budi Luhur di Jakarta pada Rabu (5/4/2023).
Ia mengatakan program studi Manajemen Bencana itu sudah mendapatkan dukungan dari Basarnas dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kemudian juga dukungan dari UGM Jogjakarta serta LL-Dikti wilayah Jakarta. Dia berharap lulusannya dapat berkontribusi mengawal mitigasi dan manajemen penanganan bencana. (*/tur)