Apakah Film Nehi-Nehi Akan Kembali?
Pada awal ’90-an, di desa-desa nelayan tak jauh dari Tuban, satu malam dalam sepekan para pelaut akan meliburkan diri dari mencari ikan. Itu adalah malam film India. Di salah satu dari tiga bioskop di Tuban, para nelayan akan jumpa para jagoannya: Sunny Deol, Sanjay Dutt, atau Anil Kapoor. Konon, karena selalu dalam rombongan besar, mereka jalan kaki beriringan berkilo-kilometer untuk sampai di bioskop yang dituju.
—
KALAU Amrish Puri sudah membentak ’Bas!’, bukan hanya satu bioskop, satu Kelurahan Kingking pun akan bergetar,” demikian kisah seorang teman –tentu dengan sedikit berlebihan.
Lalu, di awal Pelita terakhir kekuasaan Orde Baru itu, terjadi sebuah perubahan besar ekonomi-politik –yang akan sulit dijelaskan dalam satu–dua paragraf– yang berimbas pada sistem perniagaan film dan bioskop di Indonesia.
Satu kelompok industri muncul dengan monopoli jaringan bioskop dan impor filmnya: bioskop-bioskop baru dengan nama sama dan film Hollywood-nya bermunculan di kota-kota besar, sementara bioskop-bioskop lama, kebanyakan di kota kecil dengan film yang beragam, bertumbangan. Film India, sebagaimana film Indonesia dan Mandarin, kukut bersama bioskop-bioskop yang biasa memutarnya.
Memang, Sanjay Dutt dkk tak langsung menghilang. Dari bioskop-bioskop kota kecil di Situbondo hingga Subang, dari Gorontalo hingga Batam, para jagoan itu kemudian nongol di TV milik putri Pak Harto, TPI. Tapi, semua tak sama lagi.
TV, tak seperti layar bioskop, membuat sinema mengalami domestikasi. Booming film India di TV memang memapar para remaja laki-laki tengah ’90-an yang tak sempat menikmati kejayaan Inspektur Vijay di bioskop. Namun, di luar sana, terutama dalam persepsi masyarakat kota berpunya, muncul asosiasi bahwa film India adalah tontonan para pembantu rumah tangga.
Maraknya VCD dan pemutar video rumahan kemudian melengkapi proses ”dirumahkan”-nya film India. Dan munculnya Kuch Kuch Hota Hai (KKHH) pada 1998, sebuah film India yang sebelumnya nyaris tak pernah ada presedennya, dan histeria kaum hawa yang kemudian mengikutinya, sepenuhnya menyempurnakannya.
Sebesar apa pun efek ikutan KKHH (demam Shah Rukh Khan, munculnya penggemar baru film India yang berbeda tipe dan kelas sosialnya, banjirnya VCD bajakan di kota-kota kecamatan) tak mengembalikan film India ke kerumunan. Jalan kaki berombongan para nelayan di Tuban jelas sudah jadi masa lalu, tapi antrean para gadis remaja di depan loket bioskop di dalam mal untuk film baru Shah Rukh atau Hrithik Roshan juga tak pernah ada.
Monopoli bioskop dan kebijakan impor film tak memungkinkan itu terjadi. Larisnya VCD bajakan film India di kota-kota pinggir pantai di kepulauan Indonesia tak sebanding dengan stigma ”selera rendah” yang menyelubunginya. Dan setelah belasan tahun demikian, film India kemudian identik dengan para penggemar inferior yang menonton dalam diam.
Pada awal dekade lalu, 3 Idiots (2009) ramai beredar dari tangan ke tangan lewat file-file hasil unduhan ilegal. Dianggap cerdas dan kritis, film yang dibintangi Aamir Khan ini mendobrak semua stigma yang melekati film India. Tapi, alih-alih membuat orang melihat film India secara berbeda, ia sebatas dianggap sebagai ”film India yang berbeda”.
Lalu, hari-hari ini, orang-orang ramai membicarakan Gangubai Kathiawadi (2022) dan RRR (2022). Yang pertama untuk kecenderungan feminisnya, sementara yang kedua untuk aksi gila-gilaannya.




