TAFAKUR RAMADHAN

Nuzul Quran, Masihkah?

SETIAP tanggal 17 Ramadan, umat Islam seantero dunia memperingati Malam Nuzul Quran. Peringatan ini merujuk pada peristiwa diturunkannya Alquran kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril sebagai petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebenaran.

Untuk itu, bulan Ramadan juga disebut Syahrul Qur’an. Hal ini merujuk pada firman Allah: “Bulan Ramadan adalah bulan yang (di dalamnya) diturunkan Alquran…” (QS. Al-Baqarah: 185). 

Ditinjau dari proses turunnya Alquran terjadi secara berangsur-angsur. Tujuannya antara lain: pertama, untuk memantapkan dan memperteguh hati beliau, karena ada sebagian turunnya Alquran untuk menjawab persoalan yang terjadi.

Kedua, agar Alquran mudah dihapal, dipelajari, dipahami, dan diamalkan. Nilai keautentikan Alquran dijamin langsung oleh Allah selamanya. Hal ini merujuk pada firman-Nya: sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran dan Kamilah yang akan memeliharanya” (QS. al-Hijr: 9).

https://kalteng.co https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Merujuk ayat di atas, demikian janji Allah untuk menjaga Alquran. Namun, tak ada janji Allah bahwa Alquran yang ada dalam diri manusia akan terpelihara.

Untuk itu, perlu upaya agar Alquran dalam diri senantiasa terpantri dan mampu terjaga. Baca Juga : Desa Bathin Betuah dan Kelurahan Duri Barat Raih Daerah Terbaik Momentum Nuzul Quran perlu menjadi cermin diri secara utuh.

Paling tidak bercermin pada makna Nuzul Quran dalam dua dimensi, yaitu: pertama, dimensi historis-literal. Secara historis, Alquran diturunkan Allah melalui Malaikat Jibril kepada Rasulullah.

Ayat pertama diterima Nabi di Goa Hira’. Secara literal, ayat pertama yang turun dan diterima Rasulullah adalah QS. al-‘Alaq: 1-5, yaitu : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al-‘Alaq: 1-5). Secara historis, ketika Jibril meminta Rasulullah untuk membaca (iqra’), Rasulullah menjawab “aku tak bisa membaca”.

Sungguh jawaban Rasul menunjukkan akhlaknya yang tinggi dan mulia. Sebab, Rasulullah tak memiliki adab tercela untuk membaca firman-Nya sebelum Allah yang memiliki kalam memerintahkan agar Rasulullah membacanya.

Ketika Jibril menyempurnakan bacaan ayat tersebut, maka Rasulullah dengan fasih membaca apa yang disampaikan Jibril padanya atas perintah Allah.

Secara literasi ayat, wahyu pertama mengandung dimensi keimanan yang tinggi. Bukan sebatas membaca, mengetahui, memahami, berilmu, membangun peradaban, dan seterusnya. Akan tetapi membaca seluruh ciptaan-Nya dengan menghadirkan nama-Nya dalam setiap yang dibaca (dilakukan).

Sungguh akan berbeda hasil yang dicapai. Bila setiap baca dan gerak menghadirkan Allah berujung pada ketundukan dan kepatuhan yang bermuara pada kebajikan dan keadilan. Namun, bila setiap baca dan gerak tanpa menghadirkan Rabb, maka berujung pada keingkaran dan kejahiliyahan yang bermuara pada kezaliman.

Kajian literasi makna wahyu pertama bila dilakukan sebenar-benarnya, maka manusia akan mampu membangun peradaban yang rahmatan lil ‘aalamiin.

Apatah lagi ketika kajian literasi dilakukan pada seluruh ayat Alquran, maka sungguh bumi ini menjadi hamparan surga yang dapat dinikmati seluruh ciptaan-Nya. Bila hal ini terjadi, maka iblis akan kecewa dan mengutuk atas kesombongan dirinya yang menyebabkan Allah murka padanya. Kedua, dimensi substansial (suluh diri).

1 2 3Laman berikutnya

Related Articles

Back to top button