Tiga Film Menjadi Objek Penelitian Penulis
Selanjutnya, film-film pascareformasi kerap mengangkat tema nasionalisme dengan mengusung nama-nama tokoh nasionalis seperti Habibie & Ainun (2012), Soekarno (2013) dan Jenderal Soedirman (2015), ataupun bertema olahraga seperti Garuda di Dadaku (2009), King (2009), dan 3 Srikandi (2016).
Tapi, berbeda dengan penggambaran umum nasionalisme yang identik dengan sisi maskulinitas, tiga film yang menjadi objek penelitian penulis bertumpu pada representasi agensi nasionalisme perempuan yang feminin.
Konstruksi perempuan sebagai guru hadir dalam ketiga film yang secara tidak langsung menekankan bahwa identitas nasional bukan sepenuhnya oleh individu, tetapi juga pendidikan (halaman 58).
Tatiana dalam Tanah Air Beta secara sukarela menjadi guru informal bagi anak-anak pengungsi. Serupa, Jaleswari dalam Batas berperan sebagai seorang guru informal yang telah membangkitkan semangat nasionalisme penduduk perbatasan.
Sementara itu, Astuti dalam Tanah Surga… Katanya adalah seorang guru SD yang kerap menyisipkan nilai-nilai nasionalisme saat mengajar.
Konstruksi perempuan berstatus ”single mother”, baik sebagai orang tua tunggal maupun lajang, hadir pula secara signifikan dalam ketiga film.
Jika umumnya wacana perjuangan kebangsaan di dominasi oleh laki-laki dan perempuan yang hanya berperan sebagai konco wingking (berada di belakang laki-laki), Tatiana, Jaleswari, dan Astuti adalah sosok representasi nasionalis yang bebas beroperasi karena tidak memiliki pasangan.