Threshold dan Stabilitas Pemerintahan
THRESHOLD atau ambang batas masih dan akan menjadi salah satu kata kunci dalam desain sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. Di dalam literatur, istilah itu lebih banyak dipakai pada adanya pembatasan partai-partai yang akan duduk di lembaga perwakilan.
Misalnya saja, suatu partai dapat mendudukkan wakilnya di lembaga perwakilan rakyat ketika mampu mengumpulkan dukungan suara rakyat dalam persentase tertentu, 2 atau 10 persen misalnya. Threshold semacam itu disebut parliamentary threshold (PT).
Gagasan tentang PT tersebut memang kontradiktif dengan tujuan diadakannya pemilu demokratis, yaitu untuk memilih para wakil yang akan duduk di parlemen. Ketika para calon dan partai-partai yang dipilih dalam pemilu itu harus mengikuti seleksi lanjutan berdasar persentase perolehan suara, bukankah sistem demikian telah mengabaikan suara para pemilih?
Argumentasi semacam itu pula yang sering disuarakan orang-orang yang tidak setuju dengan adanya PT. Pemberlakuan PT, oleh para pengkritiknya, tidak hanya dianggap telah membuang begitu saja suara para pemilih dari partai-partai yang tidak lolos PT. Sistem demikian juga dianggap telah melahirkan adanya pelebaran disproporsionalitas di dalam lembaga perwakilan rakyat. Hanya kelompok atau partai dalam dukungan suara tertentu yang memungkinkan memiliki para wakil di parlemen.
Tetapi, demokrasi itu tidak hanya terkait dengan perwakilan. Misalnya, semakin banyak kelompok yang memiliki wakil di lembaga perwakilan (representativeness) itu semakin bagus. Demokrasi juga terkait dengan proses pembuatan keputusan-keputusan publik dan pemerintahan yang akan membuat serta menjalankan keputusan-keputusan itu.
Ketika dikaitkan dengan pembuatan keputusan, pada akhirnya terkait dengan efektivitas dan efisiensi proses pembuatannya. Semakin banyak yang terlibat, semakin sulit diputuskan karena kepentingannya juga semakin banyak. Sementara itu, pemerintah yang menjalankan keputusan-keputusan tersebut dituntut memiliki kemampuan memerintah (governability) dan mengeksekusi keputusan-keputusan itu. Ketika suatu pemerintah harus mempertimbangkan banyak tuntutan berbagai kelompok, kemampuan memerintah dan mengeksekusinya menjadi lebih rendah.
Threshold merupakan instrumen agar yang terlibat di dalam proses pembuatan keputusan-keputusan publik dan yang mengeksekusi keputusan-keputusan tersebut lebih sederhana. Karena itu, tidak sedikit negara demokratis, termasuk Jerman, yang menggunakan threshold sebagai instrumen untuk lebih menyederhanakan para wakil yang duduk di lembaga perwakilan agar terbangun pemerintahan yang lebih efektif dan efisien.
Hanya, di Indonesia ada threshold yang tidak banyak dikenal di negara lain, yaitu terkait dengan persyaratan untuk mencalonkan presiden/wakil presiden dan mencalonkan kepala daerah/wakil kepala daerah. Sejak diberlakukannya pemilihan presiden/wakil presiden dan kepala daerah/wakil kepala daerah secara langsung, sudah ditetapkan adanya threshold itu. Hanya partai atau kumpulan partai yang memiliki wakil dalam persentase tertentu, atau yang telah memperoleh dukungan di pemilu dalam persentase tertentu, yang dapat mencalonkan pasangan presiden/wakil presiden dan pasangan kepala daerah/wakil kepala daerah.
Threshold untuk parlemen maupun threshold untuk presiden/wakil presiden dan kepala daerah/wakil kepala daerah telah memiliki tingkat konstitusionalitas yang kuat. Beberapa kali materi itu telah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa kali pula tidak dikabulkan. Artinya, threshold sebagai bagian dari instrumen dalam pemilu memiliki landasan konstitusionalitas dan sah-sah saja diberlakukan dalam pemilu yang demokratis di Indonesia.
Para wakil rakyat yang saat ini sedang menggodok RUU Pemilu yang baru juga sedang membicarakan masalah threshold itu. Tapi, yang menjadi perbincangan dan perdebatan bukanlah threshold itu sendiri, melainkan tentang besaran threshold itu dan keterkaitan antara threshold untuk pemilu parlemen dan untuk pemilu presiden/wakil presiden dan untuk kepala daerah/wakil kepala daerah. Selain itu, isu lainnya adalah threshold yang rencananya diberlakukan juga untuk parlemen di daerah.
Pertama, terkait dengan besaran PT, terdapat usulan kenaikan angkanya, dari 4 persen pada Pemilu 2019 menjadi 7 persen atau lebih pada Pemilu 2024. Usulan untuk menaikkan angka itu guna melahirkan adanya sistem kepartaian moderat di Indonesia, yaitu antara dua sampai lima partai saja yang memiliki wakil di parlemen.
Apabila semata-mata dilihat dari upaya untuk mencapai tujuan, usulan menaikkan angka PT itu memang bisa diterima. Tetapi, mengingat yang membahas RUU Pemilu tersebut juga partai-partai yang pada Pemilu 2019 tidak sampai meraih dukungan 7 persen, kemungkinan pembahasannya akan berlangsung alot.
Di samping diperdebatkan berbasis kepentingan, adanya kenaikan yang terlalu tinggi dari angka PT juga menghadapi tantangan lain. Di antaranya adalah kenaikan itu bisa bertentangan dengan realitas tentang pluralitas politik di Indonesia yang cukup tinggi dan memperbesar aspek disproporsionalitas di lembaga perwakilan. Karena itu, langkah yang bijak dan ditempuh kemudian adalah menaikkan angka PT, tetapi tidak terlalu tinggi, seperti 5 persen.
Kedua, threshold untuk pemilihan presiden/wakil presiden dan untuk pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah. Ketika threshold ini diberlakukan di dalam pemilu serentak, menjadi aneh, karena angkanya didasarkan pada pemilu lima tahun sebelumnya. Threshold untuk pemilihan presiden/wakil presiden dan untuk kepala daerah/wakil kepala daerah menjadi kehilangan argumentasi bagi terbangunnya pemerintahan yang kuat dan stabil. Ketika para pengusung calon presiden/wakil presiden dan kepala daerah/wakil kepala daerah tidak memiliki kursi lagi di parlemen, karena tidak lolos PT, misalnya, presiden/wakil presiden dan kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih itu tidak memiliki dukungan yang cukup di parlemen.
Untuk itu, pilihannya dua. Ketika threshold untuk pemilihan presiden/wakil presiden dan kepala daerah/wakil kepala daerah tetap akan diberlakukan, pemilu anggota parlemen, baik di pusat maupun daerah, harus dipisah dari pemilu presiden/wakil presiden dan kepala daerah/wakil kepala daerah. Untuk itu, saya mengusulkan dua pemilu serentak: pemilu untuk anggota legislatif (DPR/DPD/DPRD) dan pemilu untuk eksekutif (presiden/wakil presiden dan kepala daerah/wakil kepala daerah). Pilihan yang kedua, kalau tetap pemilu legislatif dan eksekutif tetap serentak, threshold-nya ditiadakan.
Ketiga adalah threshold untuk parlemen daerah. Selama ini PT hanya di pusat. Apakah dimungkinkan untuk parlemen daerah? Bisa saja diberlakukan, tetapi prosesnya harus terpisah dari PT untuk DPR. Jumlahnya pun tidak harus sama dengan PT untuk pusat. Misalnya saja cukup 2 atau 3 persen. Hal tersebut perlu dilakukan karena daerah itu lebih dekat dengan para pemilih. Sehingga aspek representativeness lebih penting untuk menjadi pertimbangan penentuan PT dan angkanya. (*)
*) Kacung Marijan, Guru besar ilmu politik Unair, wakil rektor Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya