KELESTARIAN hutan tanpa kesejahteraan masyarakat di sekitarnya adalah mustahil. Ke duanya harus jalan bersama. Didukung Borneo Nature Foundation dan didorong harapan untuk hidup lebih sejahtera secara berkelanjutan tanpa harus merusak hutan dan alam sekitar, sejumlah warga di tepian hutan di wilayah Kecamatan Rakumpit, Kota Palangka Raya, memilih menyemai sumber penghidupan baru di pekarangan-pekarangan mereka. Pagi itu, air Sungai Rungan yang kecokelatan tampak memenuhi badan sungai. Membelah rerimbunan hijau hutan yang membentang di dekat wilayah Kelurahan Panjehang, Kecamatan Rakumpit. Suara tonggeret, burung, monyet, dan sesekali suara owa, terdengar bersahutan. Suara-suara alam tersebut bertempur riuh dengan deru mesin tambang emas rakyat yang mudah ditemui di sepanjang sungai yang berhulu di Kabupaten Gunung Mas tersebut. Ya, sejak awal tahun 2000-an, menambang emas dengan mesin penyedot memang menjadi tumpuan penghidupan sebagian besar warga yang hidup di tepian Sungai Rungan dan sungai-sungai lain di Kalimantan Tengah. Di sanalah, para remaja dan pria dewasa di kampung-kampung sepanjang sungai berjibaku memungut butiran-butiran emas untuk menghidupi diri dan keluarga mereka. Jika beruntung, mereka bisa membeli kendaraan bermotor baru. Di tengah deru mesin penyedot dan jibaku pria-pria di kampungnya mencari emas di sungai, Sikun (55), salah seorang warga Panjehang, memilih menyibukkan diri di kebunnya. Dua petak kolam ikan patin masing-masing berukuran 3x5 meter dan 2x4 meter, sudah hampir setahun ini menghiasi kebun pekarangannya. Di sekitar kolam ikan, beraneka jenis tanaman dirawatnya, mulai dari nanas, sayur mayur, pepaya, singkong, tanaman obat-obatan, hingga kandang ayam kampung. “Ini sangat menyenangkan bagi saya. Meskipun pekarangan saya tidak begitu luas, dengan memelihara ikan, menanam sayuran, buah-buahan, dan obat-obatan, ekonomi keluarga saya sangat terbantu. Paling tidak kebutuhan dapur tercukupi,” tutur Sikun. Sekitar 400 meter dari rumah Sikun, Martine (44), tampak sibuk mengisi kolam ikannya dengan air yang lebih segar. Hal tersebut rutin dia lakukan satu minggu sekali. “Dari pelatihan yang kami dapatkan, mengganti air kolam tiap satu minggu sekali itu hal yang sangat penting agar ikan yang kita pelihara tumbuh dengan baik,” kata Martine. Sikun dan Martine sama-sama memiliki dua kolam ikan di pekarangan mereka. Air kolam yang sudah keruh tidak mereka buang begitu saja, melainkan mereka manfaatkan untuk menyiram sayuran, bunga, tanaman buah-buahan yang ditanamnya di pekarangan miliknya. Tanaman-tanaman itu tumbuh dengan subur. “Bahkan, kami tidak perlu memupuk tanaman-tanaman ini karena air kolam itu sudah seperti pupuk. Banyak nutrisinya,” imbuh Sikun. Dari hasil memelihara ikan selama setahun terakhir, Martine dan Sikun sudah berhasil panen dua kali. Hasil panenan sebagian mereka jual. “Sebagian lagi dimakan untuk keluarga. Ini sangat membantu ekonomi kami,” sambung Martine. Warga Kelurahan Panjehang, Kecamatan Rakumpit, Kota Palangka Raya, sedang menjemur ikan untuk dijadikan ikan asin. Ikan yang dihasilkan adalah ikan yang berasal dari kolam-kolam di samping rumah mereka, (18/01/2021). Sikun dan Martine tidak sendirian. Sejak setahun silam, tak kurang dari 14 keluarga di Kelurahan Panjehang mulai aktif memanfaatkan pekarangannya sebagai sumber penghidupan. Mereka memelihara ikan, terutama ikan patin, dengan membuat kolam ikan berbentuk siring dengan ukuran bervariasi. Ada kolam yang berukuran 2x3 meter, ada pula yang berdimensi 4x6 meter. Di sekitar kolam ikan, beragam tanaman mereka tumbuhkan dengan konsep permakultur dan organik. Tanaman buah-buahan ditumbuhkan secara alami, tanpa pupuk kimia, dengan bahan utama penyubur berupa air kolam yang mengandung banyak organisme yang baik untuk pertumbuhan tanaman. Pengembangan tanah pekarangan sebagai sumber penghidupan baru juga mulai diupayakan oleh warga di Kelurahan Petuk Barunai yang terletak bersebelahan dengan Panjehang. Saat ini tak kurang dari 27 kolam ikan telah dikembangkan di dua kelurahan tersebut, yang merupakan dua dari tiga desa dampingan BNF untuk program pemberdayaan masyarakat bagi pengembangan mata pencaharian yang berkelanjutan dan hak pengelolaan hutan di Daerah Aliran Sungai Rungan. Budaya baru Koordinator Pemberdayaan Masyarakat BNF Yuliana Nona, memaparkan, tujuan dari pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui pengembangan kebun permakultur ini adalah meningkatkan kesadaran masyarakat agar dapat memanfaatkan lahan sekitar rumah mereka. “Idenya sederhana, yaitu menghasilkan pangan yang dapat dikonsumsi tanpa membuka lahan baru di hutan atau kegiatan ekonomi yang cenderung merusak alam,” kata Nona. Meski mencari ikan air tawar bukan hal baru, bagi masyarakat di sepanjang DAS Rungan, atau masyarakat Kalimantan Tengah umumnya, budi daya ikan di pekarangan merupakan kebiasaan baru yang belum banyak dikembangkan. Selama ini, mereka lebih akrab dengan budaya mencari ikan di sungai, berburu, ataupun mencari sumber penghidupan dari alam. Masih relatif lemahnya budaya budi daya menjadi tantangan tersendiri bagi BNF saat kali pertama memperkenalkan program pemberdayaan masyarakat ini di dua kelurahan tersebut. Untuk itu, sejak tahun 2019 Tim Pemberdayaan Masyarakat BNF melaksanakan serangkaian kegiatan untuk mengenalkan permakultur di pekarangan kepada warga di dua desa tersebut. Mulai dari survei sosial ekonomi, pertemuan sosialisasi program BNF dan potensi kelurahan, hingga pelatihan permakultur, budi daya perikanan darat, serta pembuatan pakan ikan. Warga sendiri pada awalnya tak mudah menerima program permakultur tersebut. Hal ini seperti diakui oleh Sikun yang pada awalnya merasa enggan untuk bergabung dalam kegiatan sosialisasi dan kelompok budi daya ikan dan tanaman pekarangan di kampungnya. Namun, seiring waktu, ketika melihat sejumlah tetangga desanya mulai sukses dan tampak bergairah dalam menanami lahan pekarangannya, dia mulai tertarik untuk bergabung dan turut belajar. Dalam setahun terakhir, jumlah penerima manfaat dari kegiatan pendampingan budi daya ikan dan permakultur di dua kelurahan di tepian hutan tersebut sebanyak 168 orang, yang terdiri atas 89 orang di Petuk Barunai dan 79 orang di Panjehang. Dari jumlah tersebut, mayoritas penerima manfaat adalah kaum perempuan, terutama ibu-ibu rumah tangga. Di tengah masa sulit akibat pandemi Covid-19, budi daya ikan dan kebun di pekarangan dapat memperkuat sumber penghidupan warga di dua desa tersebut. Iskandar (40), salah satu tokoh penggerak budi daya ikan dan permakultur di Kelurahan Petuk Barunai, mengungkapkan, meski saat ini budi daya ikan dan permakultur yang dilakukan warga di desanya masih tahap awal, dia optimistis itu akan terus berkembang. Hal ini karena banyak warga yang sudah merasakan hasilnya. Hasil panen ikan patin warga di Petuk Barunai rata-rata berkisar antara 49 kilogram hingga 150 kilogram per panen. Dengan harga ikan patin yang cenderung stabil, yaitu rata-rata di atas Rp 40.000 per kilogram, maka setiap kali masa panen akan menjadi berkah tersendiri bagi warga. Iskandar yakin, dengan manfaat yang didapat dari budi daya ikan dan permakultur, ke depan dapat menjadi sandaran penghidupan warga. “Dengan manfaat yang lebih besar nantinya, tak ada alasan bagi kami untuk tidak turut menjaga kelestarian alam di sekitar kita, baik hutan maupun sungai,” tandas Iskandar. (2) Penulis : Mohamad Burhanudin/ Manajer Komunikasi BNF