BeritaUtama

Membuka Kembali Gambut demi Pandemi

PALANGKA RAYA, kalteng.co-Proyek food estate memang gencar disuarakan oleh pemerintah. Keseriusan pemerintah menempatkan food estate di Kalteng juga makin terlihat. Megaproyek itu perlahan sudah mulai digarap.

Di saat pemerintah mulai fokus pada pengerjaan, pro kontra akan kehadiran food estate juga masih diperbincangkan di tengah masyarkat, termasuk kalangan pegiat lingkungan.

Dalam webinar 23 Juli lalu yang diinisiasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, banyak hal yang dibicarakan. 

Beberapa kali Presiden RI Joko Widodo, termasuk Pemprov Kalteng, menyebut bahwa organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO) menyebutkan akan terjadi krisis pangan secara global, termasuk di Indonesia. Peringatan ini akhirnya dijawab pemerintah dengan membuka kembali food estate di Kalteng.

Padahal berdasarkan paparan yang disampaikan Walhi Kalteng, bertolak dari kutipan berita-berita nasional, terjadi perbedaan data yang disampaikan. Mulai dari pernyataan presiden bahwa pangan Indonesia aman hingga kembali menyebut bahwa Indonesia krisis pangan. Di sisi lain, menteri pertanian (mentan) pada April lalu masih menyebutkan bahwa Indonesia terjadi surplus.

Dikatakan Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas N Hartono, menurut peringatan FAO bahwa rantai suplai makanan adalah jaringan interaksi dan pelaku yang kompleks, baik itu yang dilakukan oleh produsen, pemasukan, transportasi, publik, pengiriman, dan lainnya. Ketika virus menyebar dan meningkat, sistem makanan akan diuji dan disaring dalam beberapa minggu dan bulan mendatang.

Hari ini tidak ada guncangan pasokan dalam hal ketersediaan, tetapi mulai ada guncangan pasokan dalam hal logistik pergerakan makanan, kemudian rantai pasokan hulu kurang rentan karena padat modal daripada rantai pasokan bernilai tinggi.

Sehingga memang peringatan yang dikeluarkan oleh FAO bahwa belum ada ancaman terhadap ketersediaan pangan pada 2020, tetapi mulai terlihat ancaman terhadap pergerakan logistik yang disebabkan oleh pembatasan perjalanan dan tindakan karantina khususnya untuk negara berkembang.

“Tidak ada bahasa FAO yang menyatakan bahwa beberapa negara yang mengalami pandemi Covid-19 ini mengalami krisis pangan, hanya memang pergerakan logistiknya saja yang terjadi pengurangan karena pembatasan proses perjalanan dan proses karantina yang dilakukan di beberapa daerah termasuk di Indonesia,” kata Dimas.

FAO pun menjelaskan hal-hal apa saja yang harus dilakukan. Di antaranya yakni memenuhi kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat rentan, darurat bantuan pangan, darurat gizi, intervensi gizi, dan jaringan pengaman ditingkatkan.

Pointer yang mereka (FAO, red) tekankan yakni memaksimalkan pemberian makanan di sekolah, pastikan bahwa kebutuhan makanan darurat terpenuhi sepenuhnya, biarkan aliran bantuan makanan gratis dan dapat diprediksi, mencadangkan makanan kemanusiaan yang efisien dan efektif, keterbukaan informasi publik terkait tentang bantuan makanan, nutrisi dan program pengurangan permasalahan pangan.

“Termasuk memastikan bahwa pemberian makanan dan komponen makanan lokal untuk tujuan kemanusiaan dikecualikan dan pembatasan tidak dibatasi dalam hal pendistribusiannya,” ucapnya.

Statement itu, lanjut dia, dikeluarkan berkali-kali oleh FAO kepada semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Menariknya, pemerintah Indonesia menjawab dengan cara membuat food estate. (lihat tabel).

“Jawaban pemerintah yakni dengan membuka kembali eks PLG yang mengacu pada masterplan 2008 lalu. Namun mereka tidak pernah melihat bahwa sepanjang 2008 hingga 2020, terjadi perubahan-perubahan alih fungsi di lokasi tersebut, seperti masuknya izin kepala sawit,” ujarnya.

Di tengah pandemi Covid-19 ini, pemerintah kemudian menggunakan isu krisis pangan sebagai salah satu alasan mempercepat proyek percetakan sawah di Kalteng. Lokasi yang ditetapkan adalah tonggak sejarah kerusakan gambut yang tidak terpulihkan dan menjadi sumber bencana lingkungan serta sumber utama kebakaran hutan dan lahan gambut hampir dua dekade terakhir.

“Sisi lain, belum adanya kajian yang menunjukkan hasil evaluasi kegagalan dari PLG di tahun 1998 yang resmi dari pemerintah atau pemain PLG 1995 lalu, sehingga belum ada basis yang menunjukkan bahwa pembangunan food estate di lokasi yang sama tidak akan mengulang kegagalan yang sama,” tegas Dimas.

Berbicara krisis pangan, menurut prediksi Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikuktura Indonesia (APT2PHI), hasil produksi beras padi petani Indonesia cukup bagus. Diperkirakan produksi musim panen raya 2020 bisa mencapai 22,3 juta ton setara beras, dihitung dari luas area total panen mencapai 80,5 persen dari 11,2 juta hektare lahan sawah.

“Ini juga menjadi pertanyaan, karena terjadi perbedaan data yang dikeluarkan Kementan. Kementan mengatakan panen 2020 sebanyak 11 juta ton, bukan 22,3 juta ton,” tuturnya.

Pemerintah pun, tambah dia, belum melakukan pengecekan terhadap data bersama dengan APT2PHI. Hal itulah yang harus dilakukan sebelum menyatakan bahwa Indonesia mengalami krisis pangan.

Menurut Dimas, proyek ini justru akan menambah kerugian negara. Khusus untuk lahan gambut, seharusnya pemerintah juga melakukan evaluasi terkait proses perbaikan lahan gambut di Kalteng. Hal kedua yang menjadi catatannya, proyek ini tentu saja akan merusak alam. Karena program ini beraitan dengan kesatuan hidrologis gambut, apalagi dengan luasan lahan yang besar, dorongan akan lebih mengarah kepada investasi.

“Kami hanya mendapatkan surat tersebut tanpa memperlihatkan telah dilakukan kajian-kajian untuk food estate,” singkatnya.

Persoalan ketiga, hingga saat ini baik pemerintah daerah maupun pusat belum melakukan identifikasi petani peladang di Kalteng. Misal, berapa jumlah produksinya, berapa luasannya, apa saja jenis pangan yang ditanam, hingga kendala yang dialami peladang.

“Harusnya petani yang memiliki lahan di kawasan hutan diberikan dorongan dalam hal pemberian pelepasan kawasan hutan tersebut. Selain itu, banyak lahan pertanian yang terancam adanya investasi,” katanya.

Menurut pihaknya, seharusnya pemerintah mengembalikan urusan pangan terhadap petani. “Kekhawatiran kami dengan adanya food estate ini, selain adanya kerusakan lingkungan, juga akan hilang benih-benih lokal,” tegasnya.

Ditambahkannya, yang akan diuntungkan pada food estate ini yang pertama adalah pengguna proyek irigasi dan pembukaan jalan dan percetakan sawah. Selain itu, yang diuntungkan juga mafia benih dan mafia pupuk.

“Dikhawatirkan juga nanti akan ada klaim tanah yang ada di sana (lokasi food estate, red). Ini yang harus kita lihat bersama. Kasus-kasus ini akan berdampak pada konflik di tengah masyarakat. Inilah yang harus dihindari,” tegasnya.

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala DLH Kalteng Esau Tambang dalam kesempatan itu mengatakan, beberapa tahun lalu pihaknya bersama Walhi Kalteng sudah melakukan investigasi terhadap lahan eks PLG ini. Hasilnya, lahan itu betul-betul rusak, seperti penebangan hutan.

“Padahal waktu itu idenya bagus, dengan adanya kanal-kanal akan bisa mengendalikan banjir tahunan, tapi saat itu menjadi proyek besar. Jika food estate tidak dijaga, maka akan terjadi seperti itu lagi nantinya,” kata Esau saat menyampaikan paparannya pada webinar itu.

Pihaknya menyebut, apabila pengelolaan food estate ini benar-benar bertujuan untuk mengatasi krisis pangan, maka yang harus dijaga adalah gambut. Lokasi yang akan menjadi food estate ini bukanlah hutan-hutan baru. Kalaupun hutan yang saat ini dibersihkan, tapi itu merupakan hutan yang dahulunya sudah ada irigasi dan ini ingin yang direvitalisasi.

“Food estate ini bukan seperti yang di Papua atau di Kalbar, tetapi merupakan bagian yang terintegrasi dari upaya kita dalam merevitalisasi dan merehabilitasi gambut. Jika tidak ditanami, malah akan menjadi ancaman terjaninya kebakaran, karena lahan-lahan itu bukan lahan gambut dalam,” ungkapnya.

Area ini, lanjut dia, memang dari dahulu sudah menjadi area pertanian. Karena kekurangan sumber daya untuk membangunnya, maka yang terbangun itu hanyalah yang mampu dikerjakan oleh masyarakat. Yang perlu dilakukan saat ini adalah mendorong petani-petani yang sudah eksis.

“Didorong untuk merevitalisasi lahan-lahan yang ada. Lahan yang belum tergarap diharapkan seoptimal mungkin digarap dengan tetap menjaga kelestarian gambut. Food estate ini akan gagal jika kita tidak menjaga gambutnya. Perlu ada sumber air yang akan mengaliri lahan pertanian. Jika rusak, maka akan terjadi kekeringan dan otomatis pertanian akan gagal,” bebernya.

Untuk itu, masterplan 2008 itu juga dijadikan sebagai salah satu acuan utama food estate ini. KLHK juga sudah melakukan KLHS. Namun sampai saat ini pihaknya juga belum mengetahui bagaimana hasilnya. Nanti, saat sosialiasi, Kalteng dapat menyuarakan agar proyek ini sesuai tujuan murni yakni rehabilitasi dan revitalisasi gambut.

“Kawasan-kawasan di masterplan ini juga memang untuk budi daya, bukan konservasi,” tegasnya.

Sementara itu, salah satu peladang di Kabupaten Kapuas Nurhadi mengatakan, pihaknya sebagai saksi masih mengingat jelas kerusakan eks PLG. Sebelum adanya proyek PLG, mereka sudah berladang di lokasi itu dan belum pernah terjadi kebakaran lahan.

“Karena kami dulu saat melakukan perladangan melihat jenis tanahnya, meski kami berladang di lahan gambut, tetapi pada gambut yang tipis,” katanya saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Namun, Nurhadi mengakui ketika adanya PLG masuk ke wilayahnya mulai terjadi masalah. Bahkan, hutan sebagai kawasan masyarakat berburu hewan dibabat habis. Budi daya perkebunan permukiman rusak.

“Ketika kami mau berladang, membakar sisa-sisa rumput, selalu dianggap jadi biang permasalahan kabut asap, padahal di luar sana lebih besar kebakarannya,” kata dia.

Lahan PLG itu, lanjut dia, di luar wilayah budi daya masyarakat. Lahan itu layak dipulihkan kembali. Berkenaan dengan adanya food estate ini, Nurhadi hanya mendengar kabarnya saja, tetapi sebagai masyarakat belum pernah diajak konsultasi.

“Intinya, jika memang pemerintah mau perlakukan rakyat dalam hal ini petani, tolong berdayakan petani ladang di masyarakat, jagan datangkan transmigran. Intinya saya menolak program lumbung pangan jika polanya masih sama dengan PLG dulu,” pungkasnya.(abw/ram)

Related Articles

Back to top button