Sekelompok mahasiswa menjalani KKN (kuliah kerja nyata) di sebuah desa terpencil di kota paling ujung timur Jawa. Dua dari mereka menerabas etika di tempat yang tak semestinya. Dan kurang dari tiga pekan penayangan filmnya, hingga kemarin (20/5/2022) diklaim sudah tujuh juta orang berbondong-bondong menontonnya. Apa yang membuat cerita tadi begitu spesial?
—
SUATU hari di pengujung tahun 2009, sekelompok mahasiswa mengakhiri penantian mereka soal kejelasan lokasi KKN. ”Di sebuah desa di kabupaten K kota B,” tulis anonim di balik akun Twitter SimpleMan (@SimpleM81378523).
Semua serba dirahasiakan dan disamarkan. Mulai nama-nama orang yang terlibat, desa tempat kejadian, sampai fakultas maupun kampus tim KKN ini berasal. Katanya, hal tersebut dilakukan guna melindungi identitas si pemilik cerita terlepas dari ”banyak(nya) pelajaran yang mungkin bisa dipetik”. Dan dari situlah berbagai kejadian mistis yang dialami si pemilik cerita mulai dikuak satu per satu oleh penulis.
Singkat cerita, hampir semua kejadian seram yang mereka alami berhulu pada adu berahi dua anggota tim (Bima dan Ayu) yang dilakukan di sebuah petilasan sendang (mata air) yang bahkan warga desa sendiri pun tak berani menginjakkan kaki di sana. Keduanya mati konyol. Sedangkan anggota tim KKN yang lain pun tak luput terkena imbasnya.
Sepintas, kita bisa menarik moral cerita bahwa ”kau perlu tahu tempat jika hendak berbuat yang tidak-tidak”. Tapi, bukankah petikan klise ini juga berlaku di mana saja dan kapan saja? Lalu, apa yang membuat KKN di Desa Penari begitu ramai dibicarakan hingga melintasi berbagai wahana seperti media sosial, buku, sampai film? Dan, secara ekonomi, lebih menjual dibanding cerita horor lain?
Tradisi Lisan Horor Indonesia dan Ketidaktahuan Kita terhadap Desa
Kisah seram di Indonesia hampir selalu dituturkan secara lisan dan telah ada jauh sebelum kebiasaan baca tulis dibudayakan. Wahana lain ataupun internet hanya mengamplifikasi persebarannya. Pasalnya, tidak seperti genre lain, horor membutuhkan pengikat untuk bisa menyentuh ketakutan umum yang sebelumnya telah tersebar dan dipercayai oleh banyak orang. Dan KKN di Desa Penari telah berhasil memanfaatkan hal tersebut melalui satu dari tiga unsur terpenting dalam cerita horor, yaitu unsur the unknown (yang tidak diketahui).
Dari curi dengar dan cerita yang serbaberangkat dari ”katanya”, KKN di Desa Penari menemukan momentumnya ketika latar dan subjek cerita sengaja dibangun untuk terlebih dahulu menumbuhkan rasa penasaran audiens: siapa yang terlibat? Di mana desa lokasi kejadiannya? Dari kampus mana mereka berasal? Apa buktinya kalau cerita ini memang nyata? Dan seterusnya.
Pertumbuhan rasa ingin tahu tersebut muncul secara organik karena kita telah begitu familier dengan oleh-oleh cerita horor sepulang KKN maupun konsep desa sebagai tempat yang mistis dan terbelakang –yang jamak digambarkan oleh budaya populer kita sedari lama. Ketidaktahuan soal desa mengerucut ke kesan ”seram” dan ”ngeri” yang telah ada dalam memori kolektif. Dan ketidakpastian yang dibangkitkan dari keduanya membuat cerita soal desa dan seisinya jadi terdengar, sekaligus terlihat, begitu jahat.
Bagaimana atmosfer ini dibangun? Sama seperti subjek yang serbasamar dalam cerita, demikian juga gambaran desa tersebut saat ia dihidupkan oleh pencerita. Suasana itu disulam menjadi satu momen penuh kegamangan:
”Malam semakin gelap, dan hutan semakin sunyi sepi, namun, kata orang, di mana sunyi dan sepi ditemui, di sana, rahasia dijaga rapat-rapat. Kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap, menghabiskan 6 minggu ke depan, di sebuah desa, jauh di dalam hutan.”
Film KKN di Desa Penari secara konsisten mengukuhkan gambaran soal kemisteriusan desa ini. Lebih jauh, adaptasi film justru melakukan hal paling tabu dalam memperlakukan horor, yaitu menutup rasa penasaran dengan menjawab berbagai spekulasi dalam cerita dengan sangat gamblang.
Beberapa premis yang lebih bersifat terbuka dalam thread Twitter disambung sedemikian rupa agar sebab-akibat serta pesan moralnya tampak lebih terhubung. Seperti bagaimana relasi Bima dan Ayu, yang sebelumnya murni didorong nafsu, jadi seolah dibebankan hanya ke pihak Ayu lewat ”jebakan” makhluk halus.
Beberapa formula lain yang seolah tak bisa lepas dari gambaran desa dalam layar sinema kita (bahkan sejak era Orde Baru) pun tak luput dibubuhkan. Seperti ajaran Islam yang dihadirkan sebagai antitesis kemerosotan moral atau sekumpulan warga desa yang tidak ramah. Dua hal yang sejatinya absen di kisahan awal dalam thread Twitter.
Dengan cara-cara seperti ini, desa semakin terpisah saat penonton dijauhkan darinya; ia punya penghuni dan cara hidup yang bisa jadi berbeda memang, namun pengasinganlah yang menciptakan keganjilan dan kengerian dalam penggambaran serta pemahaman tentangnya. Hal yang kemudian bisa kita terima maupun perdebatkan, entah sebagai kebenaran atau mitos belaka.
Di samping isi konten dan representasi subjek, pertanyaan lebih lanjut juga bisa kita tujukan bagi industri film Indonesia: akan dibawa ke mana arah kisah horor ke depan? Bisakah penonton berharap untuk dikejutkan lewat terobosan storytelling semacam Keramat (2009) atau Misteri Bondowoso (2005)? Atau, penonton hanya perlu membebek pada pengemasan ulang dari yang sebelumnya telah ada atau ramai diperbincangkan?
Dari fenomena ini, sepertinya jawaban pertanyaan tadi jadi cukup jelas. Karena sejatinya, adaptasi film KKN di Desa Penari sungguh sangat sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya. (Dikutip dari JawaPos.com/tur)
DWIKI APRINALDI, Penulis dan kritikus film