Mahasiswa Kecam Tindakan Represif Saat Demo di Kantor Gubernur Kalteng
PALANGKA RAYA, Kalteng.co – Mahasiswa kecam tindakan represif saat demonstrasi. Unjuk rasa itu pecah hingga terjadi keributan dan pemukulan, serta injak menginjak di Kantor Gubernur Kalteng, Senin (14/11/2022) lalu.
Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM) yang terdiri dari masyarakat dan mahasiswa itu kembali turun ke jalan melakukan aksi jilid III terkait evaluasi kinerja Gubernur Dan Wakil Gubernur Kalteng.
Sebelumnya massa ini telah melaksanakan aksinya sebanyak dua kali. Mereka turun ke jalan untuk menemui Gubernur dan Wakil Gubernur namun tidak pernah digubris. Aksi jilid pertama dilakukan pada 25 Oktober 2022 dan jilid kedua pada 10 November 2022.
Koordinator Lapangan GERAM, Beni Andriano mengatakan, jika pada aksi kedua yang dilakukan saat itu dibenturkan dengan massa aksi dari beberapa organisasi masyarakat (Ormas). Sampai aksi jilid III, Gubernur dan Wakil Gubernur Kaleng tetap tidak mau bertemu dengan aksi massa.
“Pemerintah nyatanya tidak menunjukkan itikad baik untuk mendengarkan atau sekadar menemui masyarakat guna memberikan respons terhadap tuntutan yang terus digaungkan,” katanya, Selasa (15/11/2022).
Menurutnya, hal ini menyebabkan terus bergulirnya kekecewaan terhadap tiga tahun masa kerja Pemprov Kalteng yang dinilai angkuh dan terus bersikap apatis terhadap suara rakyat.
Tindakan angkuh tersebut dapat tercermin dari respons pemerintah yang justru terus melakukan manuver kebijakan yang berujung pada kepentingan dan keuntungan personal, bukan masyarakat. Gambaran singkat ini telah menunjukkan bahwa rezim telah mempertontonkan kegagalannya dengan berkhianat pada masyarakat.
“Dalam aksi kali ini mahasiswa dan masyarakat banyak mengalami tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan baik dari kepolisian bahkan Satpol PP hingga beberapa masa aksi harus di rujukan ke rumah sakit,” urainya.
Dengan terjadinya tindakan represif, tambahnya, maka kemarahan mahasiswa dan masyarakat memuncak hingga menuai respons beberapa organisasi, kelembagaan dan masyarakat luas. Banyak pihak mengecam tindakan represif aparat keamanan.
“Hal ini menunjukkan bagaimana wajah demokrasi di Kalteng yang sesungguhnya. Pemerintah terkesan antipati dalam kritikan bahkan masukan dari masyarakat. Ini akan menjadi sebuah catatan evaluasi untuk pemerintah agar tidak boleh tutup telinga dan terkesan menutup diri untuk menemui orang-orang yang menyampaikan aspirasi dan keresahannya kepada pemerintah,” bebernya.
Aksi yang sudah dilakukan sampai jilid III, tapi Gubernur Kalteng tak kunjung menjumpai massa, perilaku seperti ini harusnya jangan melekat pada seorang pemimpin yang sudah seyogyanya mengayomi masyarakat.
Tidak ada hal lain selain ingin menyampaikan aspirasi, tuntutan dan keresahan dari masa aksi yang ingin menyampaikan secara langsung dan berdialog kepada pemangku kebijakan.
“Terjadinya tensi yang tinggi juga diakibatkan massa aksi yang hanya diberi janji-janji oleh otoritas di kantor gubernur bahwasanya mereka siap menemui massa aksi dan mau menerima aspirasi yang disampaikan,” tukasnya.
Akan tetapi momen yang ditunggu-tunggu, tandasnya, tetap nihil hasil dan sampai sore hari pun Gubernur tidak keluar dari kantor hingga menyebabkan kekecewaan massa aksi yang hanya diberi janji, tapi kenyataan di lapangan tidak berbanding lurus. (oiq)