BeritaEkonomi BisnisNASIONAL

Redenominasi Rupiah 2027: Rp 1.000 Jadi Rp 1, Ini Risiko dan Kesiapan Indonesia

KALTENG.CO-Pemerintah Indonesia kembali meluncurkan wacana penyederhanaan nominal mata uang melalui Redenominasi Rupiah. Rencana ambisius ini diwujudkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah yang ditargetkan rampung pada tahun 2027.

Kebijakan ini, yang akan mengubah Rp 1.000 menjadi Rp 1 tanpa mengurangi daya beli, bertujuan meningkatkan efisiensi transaksi, memperkuat kredibilitas rupiah, serta memperbaiki citra ekonomi nasional.

Namun, di tengah optimisme pemerintah, sejumlah ekonom justru membunyikan alarm. Mereka menilai rencana ini belum realistis dan berisiko tinggi memicu dampak negatif jika dipaksakan tanpa persiapan yang ekstra hati-hati dan sosialisasi yang masif.


📜 Dasar Kebijakan dan Tujuan Mulia Redenominasi

Rencana redenominasi ini tertuang secara formal dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029. RUU Redenominasi disebut sebagai salah satu dari empat RUU prioritas yang akan dikebut penyelesaiannya hingga 2027.

Tujuan utama dari Redenominasi adalah:

  • Penyederhanaan Nominal: Mengurangi jumlah angka nol pada mata uang, misalnya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.
  • Efisiensi Transaksi: Memudahkan pencatatan akuntansi, transaksi, dan pelaporan keuangan.
  • Peningkatan Kredibilitas: Memperkuat kepercayaan terhadap rupiah dan meningkatkan citra ekonomi Indonesia di mata dunia karena mata uang dinilai lebih setara dengan negara maju.
  • Daya Beli Tetap: Pemerintah menjamin bahwa nilai riil dan daya beli masyarakat tidak akan berubah.

⚠️ Alarm Bahaya dari Para Ekonom

Meskipun memiliki tujuan yang baik, rencana penyelesaian RUU Redenominasi pada 2027 dinilai terlalu terburu-buru. Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menegaskan bahwa kebijakan ini memerlukan kehati-hatian tingkat tinggi.

1. Risiko Hiperinflasi dan Kegagalan Sejarah

Bhima mengingatkan bahwa sejarah mencatat kegagalan redenominasi di banyak negara yang berujung pada hiperinflasi dan penurunan drastis daya beli masyarakat.

“Redenominasi rupiah harus dilakukan ekstra hati-hati. Banyak negara mencoba dan berujung hiperinflasi,” ujar Bhima.

Contoh Kasus Negara Gagal Redenominasi:

  • Brasil: Gagal menekan inflasi pasca-redenominasi (1986, 1989, 1993), bahkan inflasi sempat melonjak hingga 48 persen per bulan pada Juni 1994 karena lemahnya sosialisasi dan sistem keuangan.
  • Ghana (2007): Mengalami kenaikan inflasi 5 persen pada tahun berikutnya.
  • Zimbabwe: Mengalami kegagalan berulang akibat fondasi ekonomi yang rapuh.

2. Waktu Persiapan Terlalu Singkat

Menurut Bhima, alokasi waktu dua hingga tiga tahun untuk persiapan (hingga rampung 2027) dinilai sangat singkat. Idealnya, masa transisi yang dibutuhkan adalah delapan hingga sepuluh tahun untuk memastikan kesiapan ekonomi makro, sistem pembayaran, dan literasi publik yang matang.

3. Risiko Pembulatan Harga ke Atas (Inflasi Mikro)

Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi terjadinya inflasi mikro akibat pembulatan harga ke atas di tingkat ritel.

“Sebagai contoh, barang seharga Rp 9.000 tidak akan jadi Rp 9, tapi jadi Rp 10. Penjual cenderung membulatkan ke nominal paling atas. Inflasi yang terlalu tinggi akibat redenominasi bisa melemahkan daya beli masyarakat,” jelasnya.

Jika ini terjadi, daya beli masyarakat akan tertekan. Padahal, konsumsi rumah tangga adalah motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kebijakan yang menekan konsumsi dikhawatirkan justru akan menghambat target pertumbuhan ekonomi.

4. Tantangan Sosialisasi dan Administrasi

Tingkat penggunaan uang tunai di Indonesia masih tinggi, sementara transaksi digital seperti QRIS terus meningkat. Bhima menyoroti potensi kebingungan administrasi di sektor ritel, yang memiliki ribuan jenis barang.

“Gap sosialisasi bisa menyebabkan kebingungan administrasi, terutama di sektor ritel yang memiliki ribuan jenis barang. Semua harga dan pembukuan harus disesuaikan, itu bukan pekerjaan ringan,” tandas Bhima.


💡 Jalan ke Depan: Kajian Ulang dan Mitigasi

Redenominasi memang berpotensi memberikan manfaat jangka panjang, terutama dalam meningkatkan efisiensi dan martabat rupiah. Namun, rencana yang tergesa-gesa berisiko memicu efek psikologis negatif di masyarakat dan pasar, serta dampak ekonomi yang tidak diinginkan.

Langkah-langkah Penting yang Disarankan:

  1. Kajian Ulang Kesiapan Ekonomi: Memastikan kondisi makroekonomi benar-benar stabil dan kuat.
  2. Perpanjangan Masa Transisi: Memberikan waktu yang lebih panjang (8-10 tahun) untuk persiapan.
  3. Strategi Komunikasi Kuat: Merancang sosialisasi yang masif, merata, dan mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat dan pelaku usaha.
  4. Rencana Mitigasi Inflasi: Menyiapkan regulasi ketat untuk mengontrol harga dan mencegah pembulatan sepihak oleh pedagang.

Keberhasilan Redenominasi Rupiah bergantung tidak hanya pada regulasi yang kuat, tetapi juga pada waktu yang tepat, kesiapan sistem, serta kepercayaan dan pemahaman penuh dari seluruh elemen masyarakat.

Indonesia harus belajar dari sejarah negara lain agar rencana ambisius ini tidak berakhir seperti kasus kegagalan yang memicu gejolak ekonomi. (*/tur)

Related Articles

Back to top button