AKHIR PEKANOPINI

Khotbah Pengakhir Tangis

Lebaran hari pertama 2 Mei 2022 jalur pribadi Sastro-Jendro di-broadcast WA, ”Selamat Hari Lebaran… Dari relung hati terdalam, kami sekeluarga Rio Hajar Dewanto mengucapkan selamat Hari Pendidikan Nasional.”

TADINYA chat tersebut tak akan mereka gubris. Sudah 10 tahunan lebih pasangan itu bersikap tegas, ogah meladeni ucapan Lebaran yang tak personal padahal di jalur pribadi, yang tak menyebut nama sang tertuju secara masing-masing.

Tujuan sikap keduanya juga jelas walau agak muluk-muluk. Mendidik bangsa ini, merevolusi mental agar empan papan, meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Itu tujuannya. Ciyeeee… Soto tempatnya di mangkuk. Upil tempatnya di hidung. Jangan dimangkuki. Broadcast WA Lebaran tempatnya di WA group. Jangan di WA jalur pribadi.

Cucu Sastro-Jendro protes, ”Hadeuuuh, Yang, capek njempolin WA Lebaran satu per satu pakai nama…”

”Capeknya di mana, Cu?” Sastro-Jendro memotong. ”Konten ucapannya toh boleh sama. Cuma sebisanya jangan copy paste. Bikin sendiri. Dari hati. Yang kamu tulis satu per satu, kan, cuma nama tujuan!”

”Ya, tetap capek, Yang.”

”Capeknya di mana, Cu? Cuma modal jempol. Dengkul juga nggak. Ndak ada seupilnya dibanding capeknya zaman Yangkung-Yangti dulu naik sepeda buat salim dan sungkem sana-sini. Naik turun bus.”

Perdebatan terpotong. Tangis cucu terkecil semakin membahana lantaran kopiahnya kesingsal entah di mana. Sastro-Jendro sudah menggantinya. Mereka sengaja beli dua kopiah, satu untuk cadangan. Yangkung-Yangti tahu betul cucu yang satu ini langganan kesingsal kepunyaan. Kok tangisnya masih meraung-raung? Lebih lantang lagi dari pekik demo Hari Buruh!

”Tadi waktu dengerin khotbah di lapangan aku tidak kopiahan… Hiiyaaaaa….!!!!! Aku ingin dengar khotbah pas lagi pakai kopiah, Yaaaaaaaang…!!!!!”

Sastro-Jendro bergegas menggendong cucu antiknya ini ke rumah khatib Idul Fitri di kampungnya. Banyak sanak famili Pak Khatib di rumah itu. Termasuk marmut-marmut. Seisi rumahnya heran.

”Memang, tadi kalian tidak ikut salat Id di lapangan?”

”Ikut, Kiai. Khotbah Kiai pun kami ikuti sampai rampung… Tidak seperti keluarga-keluarga lain yang ngacir duluan.”

”Lha, kok ini saya kalian suruh khotbah lagi?”

”Karena tadi waktu menyimak khotbah Kiai cucu saya ini sedang tidak pakai kopiah. Kesingsal. Dia ingin menyimaknya pas pakai kopiah.”

Pak Khatib semarmut-marmutnya terpingkal-pingkal. Pak Khatib masuk ke dalam rumah, mengambil dan mengenakan kopiah juga walau sudah lawas. Diambilnya cucu itu. Dipangku bersama marmut. Dikhotbahi. Isi khotbahnya persis yang di lapangan tadi, persis khotbah Idul Fitri-nya tahun lalu, fotokopian juga dari khotbah-khotbahnya di tahun-tahun yang lalu-lalu. Cucu itu pun selesai tangisnya. Sebab ketiduran. Si marmut juga.

***

Sastro-Jendro sedikit merevisi sikap tegasnya selama 10 tahun lebih itu. Dijawabnya WA Rio Hajar Dewanto, ”Terima kasih, Pak Rio Hajar Dewanto sekeluarga, Bapak sudah mengingatkan kami bahwa Lebaran ini bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional yang dilupakan khalayak, nyelip di antara kue sagu, kastengel, lidah kucing, putri salju… nyilem dalam genangan kuah kari ikan dan opor ayam.”

WA berbaku balas. ”Wah, heuheuheu, pancingan saya sukses. Sengaja saya tak sopan WA Lebaran secara broadcast ke hadapan Pak Sastro dan Bu Jendro. Saya menghaturkan umpan. Jika kontennya mengusik, apakah Sampean berdua masih teguh pada sikap tentang WA Lebaran?”

”Betul. Tak cuma mengusik, konten WA Sampean juga menyuguhkan semacam wangsit. Semua orang bisa sekali dayung mengerjakan atau memikirkan banyak hal, tapi tidak berlebaran sambil mengingat Hari Pendidikan Nasional. Bu Jendro ini contoh. Dia bisa sambil masak sambil menolong cucu-cucu kami mengenakan sepatunya, sambil mengelabang rambut cucu lain dua jalinan, eh, masih sambil ngomel-ngomeli saya pula. Tapi belum sanggup mengiris ketupat Lebaran sembari merayakan Hari Pendidikan Nasional.”

”Duh, matur nuwun, matur nuwun… Saya tersanjung, Pak, Bu, Sastro-Jendro.”

”Lha, wong, metode hisab, metode perhitungan rasional jatuhnya Hari Lebaran saja bisa dilakukan tanpa melupakan metode rukyat, metode empiris menyaksikan hilal. Harusnya riyoyo ini, kan, juga bisa dilakukan sekalian riyayan pendidikan. Mengenang Ki Hadjar Dewantara dan sejawat perjuangannya seperti dilakukan Pak Rio Hajar Dewanto ini…”

”Duh, matur nuwun, matur nuwun… Saya tersanjung, Pak, Bu, Sastro-Jendro.”

”Jadi, Pak Rio, pendidi’an bidang apa yang harus dikhotbahkan di hari bahagia Lebaran ini?”

”Pendidi’an tentang amplop, Pak Sastro.”

”Amplop?”

”Betul. Amplop-amplop untuk anak kecil dalam silaturahmi Lebaran yang Yangti-nya bilang sebaiknya dititipkan kepadanya, jangan sampai jadi investasi bodong.”

”Investasi bodong?”

”Betul. Amplop Lebaran tahun lalu dari saya untuk cucu Pak-Bu Sastro-Jendro itu kudunya bisa dapat seratus kopiah buat sang cucu. Bukan cuma dua. Malah masih bisa buat beli kopiah baru buat Pak Khatib saat mengkhotbahi cucu itu. Ke mana sisanya?”

”Heuheuheu….”

”Heuheuheu…. Maaf lahir batin, Pak-Bu Sastro-Jendro,” WA Lebaran Pak Rio Hajar Dewanto akhirnya personal juga. Menyapa nama yang dituju. (*)

SUJIWO TEJO, Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

Related Articles

Back to top button