Rumah Itu, Rumah Opium
Sebenarnya keluarga A kong tak peduli soal itu, tetapi mereka takut pada bayangan sendiri sehingga mengarang-ngarang cerita bahwa A kong terlibat organisasi terlarang, mendanai pemberontakan yang tak bisa dibuktikan setelah menginterogasi A kong berjam-jam di banyak malam sehingga A kong kelelahan dan tertekan setelah mendekam beberapa malam di sel. Untuk menghindari penjemputan yang akan terus berulang itu, A kong memilih membayar, menyogok agar keluarganya tak diganggu.
Masalah tak juga berakhir meskipun keluarga besar membatasi sebanyak mungkin keluar rumah dan bertemu banyak orang. Masih juga dituduh melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dianggap membahayakan negara sehingga berimbas pada produksi batik yang ditekuni A ma.
Bahkan adik A kong sampai mengajak pakar bangunan untuk mengevaluasi bentuk rumah, arah pintu, dan ornamen-ornamen di dalam rumah, tidak ada yang keliru, semua sudah ditimbang dengan perhitungan matang agar selaras dengan alam. Mereka juga tak lalai ziarah ke rumah abu para leluhur.
Tekanan tak berhenti hingga A ma mati sengsara batin lalu menyusul A kong. Papa dan mama yang masih belum paham betul letak permasalahan terus-menerus digempur dan dijadikan mainan penguasa dengan alasan yang itu-itu juga.
Akhirnya mama bunuh diri. Papa? Dijemput adik A kong dan dirawat di sana sementara aku menolak ikut, tetapi aku juga tak mau tinggal di rumah itu.
Kami meninggalkan rumah begitu saja dan menitipkan pada sepasang suami istri yang telah bekerja bertahun di keluarga kami dan adik A kong yang membereskan semuanya.
Para tetangga dan teman-teman dekat papa tak ada yang berani menolong karena takut akan terseret pada persoalan sinting itu. Masuk akal dan kami tak menyalahkan mereka.
Kini rumahku mati suri. Hanya berisi kenangan, selebihnya sisa-sisa ketakutan. Ketika aku membuka pintunya, Pak Muh menyambutku. Di rumah peninggalan leluhurku ini, Pak Muh dan istrinya lebih paham seluk-beluk daripada aku si pemilik sah karena hanya namaku yang ada di surat sakti kepemilikan.
Aku duduk di beranda memandang jauh keluar pagar, menimbang apakah perlu aku menelepon si pemilik rumah besar itu kalau menolak kutemui. Mudah bagiku mencari nomor teleponnya. Dengan menunjukkan kartu himpunan sejarawan, aku mudah mencari akses.
Dengan bukti-bukti yang aku temukan, dengan data-data yang aku kumpulkan selama bertahun-tahun, aku bisa berbalik memerasnya. Tetapi untuk apa? Aku tak butuh uang sebanyak yang ia butuhkan untuk menghidupi centeng-centeng pelat merah.
Aku tersenyum. Ingin rasanya mengirim godaan kecil untuk mengusiknya dan cukup aku katakan: ”Saya tahu berapa banyak Anda mengemplang pajak.” Aku tertawa membayangkan seperti apa reaksinya.
Tetapi pertemuan yang tak sengaja rupanya menjadi keberuntunganku. Tanggal 8 bulan 8 pukul delapan malam aku memenuhi undangan penandatanganan prasasti. Rumah kawan bermainku semasa kecil telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Aku melihatnya duduk di antara tamu-tamu penting, bahkan beberapa aku lihat ada orang partai di sana. Pengecut. Berada di antara mereka, ia seperti seorang yang ramah, hangat, dan baik bak malaikat, sementara saat di rumah ia berlaku seperti bos dengan kekuasaan tanpa batas.
Melalui kenalan anggota komunitas sejarah, aku berhasil mendekat padanya dan ia tersenyum ramah. Aku baku tatap dengan mata sipit itu. Jika papaku masih hidup, mungkin juga setua dia. Kepalanya separo botak nyaris sama licin dengan seluruh kulit wajahnya. Caranya berdiri dan posturnya mengingatkan aku pada artis wushu bangkotan.
Tampak ia tak mengenali aku dan itu wajar karena ia bertemu aku hanya beberapa kali ketika aku masih sangat kecil sebelum papaku pergi dari rumah.
Kami sempat berbasa-basi dan seperti yang aku harapkan, kawanku meninggalkan kami berdua saja di sudut ruangan penuh makanan sajian. Ia sangat bersemangat berbicara tentang perlunya mempertahankan bangunan bersejarah, cukup dibenahi saja.
”Jangan mengubah apa pun karena itu akan merusak nilai historis,” katanya penuh semangat.
”Saya setuju. Termasuk, em… tentang.. eem… sekotak opium yang masih tersimpan,” kataku tenang. Dia terperanjat. Menatapku lekat. Lalu terkekeh.
”Ya… banyak orang yang tahu kalau rumah tempat tinggal kami dulunya pemilik bandar opium,” katanya tanpa curiga dengan pancinganku.
”Sampai sekarang,” potongku cepat.
”Ah, tentu tidak. Itu tak mungkin. Karena opium pasti sudah hancur setelah lebih dari setengah abad disimpan.”
”Saya membaca catatan terakhir pemilik rumah itu, yaitu ayah Anda, bahwa ia pernah menyembunyikan puluhan kilo opium di ruang rahasia rumahnya. Mungkin untuk cadangan atau stok. Karena memang usaha opium papa Anda luar biasa pesat waktu itu.
Dan hebatnya, itu tidak tampak oleh penguasa karena papa Anda sudah mengalihkan perhatian atau lebih tepatnya mencarikan tumbal untuk bersenang-senang. Yaitu A kong saya,” lanjutku pelan, tetapi jelas. Benar dugaanku, aku tak mampu menahan diri.
Memang terlalu cepat aku menyerangnya, tetapi apa boleh buat karena ini mungkin satu-satunya kesempatanku bertemu dengannya.
”Siapa Anda? Saya bisa laporkan Anda atas tuduhan pencemaran nama baik.”
”Saya hanya bicara sejarah. Saya bisa menyodorkan data-data yang berhasil saya kumpulkan. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya tahu, mengapa dulu keluarga A kong, keluarga papa saya, selalu hidup dalam ketakutan. Itu bukan semata karena persaingan bisnis kain putihan dan batik.




