Rumah (Te)tangga
No 527
IA melempar bungkus rokok setelah meloloskannya satu lantas membakarnya, mengisapnya dengan cepat dan mengembuskannya dengan cepat pula. Seperti ada yang memburunya, mungkin masa depan yang sedemikian abstrak di kepalanya.
Bukan, aku bukan pendongeng. Aku sedang menceritakan seseorang yang berada di depanku. Seluruh hantu kenangan di tubuhku kerap mengganggunya setelah kami resmi menikah, seperti dibangkitkan dari kubur masa lalu, lalu gentayangan di kepalanya. Tapi masa depan ternyata lebih dari itu –bukan hanya membuatnya makin gila, namun rumah tangga kami nyaris remuk di bulan empat belas.
Betapa kami nyaris gila ketika kapal rumah tangga kami baru berlayar, satu pukulan ombak membuat kami hampir terlempar. Tentu sebagai pelayar, kami baru, kami sepakat kamilah pemegang nakhodanya. Kami tidak mempersoalkan gender tentang siapa yang akan menjadi kapten.
Kami dibesarkan di tengah gempuran arus informasi dan kebebasan berpikir. Kami tidak mempersoalkan siapa yang memasak dan siapa yang mencuci dan siapa yang bekerja. Lebih-lebih aku yang tak ingin merepotkannya hanya untuk membuatkan segelas kopi. Lagi pula aku sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri.
Meski tak dapat kumungkiri lain rasanya ketika sekali waktu ia membuatkannya untukku. Tapi aku segera menepisnya, khawatir hantu-hantu patriarki datang menyurupi rumah tangga kami. Sekali lagi kami manusia modern, selamat tinggal dominasi.
Ia masih diam dengan rokok yang hampir habis. Sesekali ia melihat ke arahku, aku merasa tak enak jika ia memandangku. Tak enak, sebab tahu bahwa memang aku belum becus benar untuk membahagiakannya –tepatnya sesuai apa yang diharapkannya. Bukannya kami menikah sesuai harapan bersama? Sebelum menikah memang harapan menjadi milik bersama, setelah menikah harapan bisa milik siapa pun.
Memang kami sudah sepakat untuk saling mengerti dan percaya sejak awal kami memutuskan untuk menikah. Ia tahu aku masih mahasiswa tingkat akhir jurusan bimbingan konseling, dan ia sendiri baru saja menyelesaikan kuliahnya di jurusan pendidikan bahasa Inggris. Kami dipertemukan pada acara pemotretan di Kelas Minggu Sore.
Kebetulan aku mengikuti Kelas Minggu Sore, yaitu kelas bagi orang-orang yang belajar fotografi. Pada acara tersebut kali pertama aku bertemu dengannya, berkenalan, mengobrol, hingga kemudian kami merasa menemukan kecocokan.
Kami sering berjalan bersama sambil membicarakan banyak hal, bertukar pikiran, membicarakan ide dan bagaimana gambar berbicara jika dibidik dari sudut yang tepat. Setahun kami berjalan bersama hingga akhirnya memutuskan untuk menikah.
Keputusan kami menikah secara tak langsung mengubah ritme hidup kami. Istriku bekerja sebagai sales salah satu produk minuman, kadang juga ia menerima job pemotretan. Sementara aku, selain mahasiswa tingkat akhir, kadang sesekali menerima job untuk motret di acara pernikahan.
Di sini aku tidak sedang membicarakan rumah tangga orang lain yang sakinah, mawadah, warahmah. Aku sedang membicarakan bagaimana kenyataan menimpa kami. Beberapa teman menyarankan untuk bertobat dan berumah tangga berdasar jalan Tuhan.