Rumah (Te)tangga
Kami kerap dituduh liberal terkait cara pandang kami. Tapi sekali lagi, ini adalah persoalan kami yang mungkin bagi kebanyakan orang percaya bahwa quote-quote atau buku-buku how to bisa mengubah kami. Sementara masalah lahir bukan dari rumah tangga yang baik-baik saja.
Ia mematikan rokoknya, kemudian meloloskannya kembali dan membakarnya. Ia masih belum bicara. Aku masih diam sambil terus merenungi kejadian semacam ini yang kerap berulang jika kondisi ekonomi kami memburuk.
Lalu bagaimana dengan komitmen ketika awal kami berkasih-kasihan sebelum menikah? Ke mana nekat kami yang dulu siap menanggung segala risiko dan kekurangan masing-masing? Harapan-harapan itu, keyakinan teguh itu, mendadak hilang. Entah ke mana. Mungkin setan telah mengambilnya.
”Kamu menyesal kan nikah sama aku?!” Ia meradang. Aku tidak menggubrisnya, ”Bisanya cuma diam. Nggak bisa ngapa-ngapain. Katanya mau membahagiakan aku. Emang kamu nggak bisa diandalin.”
Aku mulai khawatir, ketika emosi menguasai kepala, banyak hal menyakitkan keluar dari mulutnya. Dalam situasi semacam ini, salah satu dari kami harus bisa mengontrol keadaan. Kalau tidak, semua jadi buyar, lepas kendali, bisa tambah riwayat sakit hati dan trauma. Padahal masalah yang dihadapi tak sebanding dengan akibat dari emosi yang tak terkendali.
”Katanya cinta, mana? Buktiin dong kalau memang cinta. Bahagiain aku. Cuma modal ngomong doang mah semua bisa. Cinta juga butuh ongkos,” katanya lagi, kemudian menjentikkan abu rokok ke asbak. Aku masih diam. Sengaja tidak menanggapinya.
Benar memang, kita harus bekerja sama karena kita setara. Tapi hal itu butuh pemahaman mengenai posisi dan profesi partner kita. Karena jika tidak demikian, akhirnya saling menyalahkan. Sebetulnya aku sangat ingin mengatakan padanya, kenapa sudah hampir enam bulan ini ia enggan bercinta denganku.
Bukan hanya enam bulan ini, bahkan sebelumnya pun seks kami tidaklah sehat. Dalam enam bulan ini bisa dihitung dengan jari, sementara normalnya secara medis empat kali dalam seminggu, itu pun jika konsisten mengikut sebagai generasi pemuja akal sehat.
Tapi aku pun tidak bisa memaksanya karena itu bertentangan dengan ideologi kami. Kami setara, bercinta atas dasar suka sama suka. Tapi dalam situasi seperti ini betapa tersiksanya bahwa aku harus mengakhiri berahiku pada segumpal tisu dan video porno.
Pernah terlintas ingin menyewa PSK, tapi takut terkena penyakit kelamin. Mau selingkuh, khawatir malah tambah masalah. Mau bercerai rasanya berat. Sejujurnya ini situasi yang rumit. Aku tidak tahu letak kesalahan kami di mana. Padahal sebelum menikah kami sudah berkomitmen, berpikir matang, dan penuh rencana. Tapi dalam praktik, semua berubah.
”Aslinya kamu nggak cinta kan sama aku? Makanya kamu nggak kerja keras mati-matian untuk bahagiain aku. Iya kan?”
Kalau sudah begini repot. Cinta dan tidak cinta diukur dari persepsinya mengenai kerja keras. Terus terang aku tidak bisa menjawabnya, terlebih dalam kondisi yang pelik. Ia kerap menyalahkan dirinya sendiri jika emosinya sudah tidak terkontrol dan debat kami sudah tidak menemukan jalan keluar.
Kalau sudah begitu ia kerap menjelek-jelekkan dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa ia adalah seorang pelacur, padahal bukan pelacur. Ia sering menjelek-jelekkan dirinya sendiri kalau ia yang selalu salah, padahal berdiskusi bukan soal salah dan benar, tapi soal kami berdua sama sepakat.
Aku khawatir masalah rumah tangga merembet ke masalah rumah tetangga. Hal itu aku sadari justru ketika mendengar pertengkaran tetangga. Kami sering mendengar suara pintu dibanting, pekikan suara, tangisan, atau ujaran-ujaran yang sampai pada telinga kami, seperti ”Aku capek, Mas. Kamu sibuk dengan dirimu sendiri.” Atau ”Kita itu nggak cocok, nggak bisa dipaksain.”