Rumah (Te)tangga
No 528
Sudah tiga kiai yang kami datangi sejak sembilan tahun tak ada pintu keluar bagi rumah tangga kami. Berbagai upaya sudah kami lakukan, kami sering menjadwalkan liburan untuk membangkitkan rasa cinta kami, pergi ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang, dinner, kamping, dan banyak hal sudah kami lakukan.
Seperti pepatah Jawa yang kerap dikatakan orang tua kami, witing tresna jalaran saka kulina. ”Tidak cinta kok punya dua anak, hehehe,” celetuk ayah saya suatu kali kepada kami. Artinya, lambat laun perasaan cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya, seperti yang sudah terjadi sebelumnya pada orang tua kami.
Atas dasar itulah orang tua kami menjodohkan kami. Di zaman sekarang ini memang terdengar aneh, tapi nyatanya hal demikian terjadi pada kami. Bukan pula orang tua kami memaksa seperti yang terjadi pada film-film kebanyakan. Tapi lantaran kami tak tega melihat orang tua kami kecewa dan kami meyakini pepatah Jawa itu, akhirnya kami mengiyakan pernikahan ini.
Sebagai seorang suami, ia tertib menjalani apa yang disyariatkan agama. Namun ia tidaklah kaku. Bahkan ia sering mencuci pakaian saya dan anak-anak. Ia tahu ketika itu saya dalam kondisi lelah pulang kerja, anak-anak saya titipkan mertua, kadang juga orang tua saya.
Kebetulan dari pihak suami punya usaha keluarga. Kami punya lima minimarket yang tersebar di kota ini dan aku sendiri manajer salah satu minimarket itu yang letaknya tak jauh dari rumah kami. Saya pernah bertanya pada suami, kenapa kamu mau bahkan sering mencuci pakaian saya dan anak-anak? Ia menjawab, mencontoh Rasulullah.
Saya hanya tertegun, saya belum mendengar riwayat mengenai Rasulullah mencuci pakaian. Tapi saya balikkan padanya dan saya bilang, ”Enak saja nyama-nyamain sama Rasulullah, kamu mah enak ada mesin cuci, tinggal muter-muter doang.” Ia hanya mesam-mesem.
Keluarga kami termasuk keluarga yang religius tapi njawani. Keluarga kami tidak setuju soal pacaran, sebab itu bisa berdampak buruk bagi psikologis, terlebih pemikiran orang sekarang sudah aneh-aneh. Wong Jawa wis ilang Jawane. Keminter, wis ilang tata kramane. Kemerdekaan perempuan dirayakan dengan memamerkan bokong dan susu.