BeritaNASIONAL

12 Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu, SETARA: Penyelesaian hanya Melalui Jalur Non Yudisial

KALTENG.CO-Pemerintahan Presiden Jokowi berupaya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Setidaknya ada 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang harus segera diselesaikan oleh pemerintahan Presiden Jokowi.

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengakui dan menyesali terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat, yang terjadi pada masa lalu dinilai hanya sebagai aksesori politik.

Hal itu juga sebagai pemenuhan janji kampanye politik. “Sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani dalam keterangannya, Minggu (15/1/2023).

https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Ismail menyetakan, Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu hanya bekerja tidak lebih dari 5 bulan, dengan komposisi anggota yang kontroversial dan metode kerja yang tidak jelas.

Mustahil bisa merekomendasikan terobosan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara berkeadilan. Tim ini hanya ditujukan untuk memberikan legitimasi, tindakan bagi Presiden Jokowi membagikan kompensasi kepada para korban, tanpa proses rehabilitasi yang terbuka dan tanpa mengetahui siapa sesungguhnya pelaku-pelaku kejahatan itu.

“SETARA Institute menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM,” ucap Ismail.

Terlebih, Tim PPHAM tidak mencari pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, lebih kepada menyantuni dan menangani korban untuk dilakukan pemulihan.

“Fakta ini adalah dampak dari ketiadaan mandat pemenuhan hak atas kebenaran (right to the truth), sebagai dasar untuk menentukan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses peradilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non yudisial,” ungkap Ismail.

Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial.

Tak dipungkiri, terdapat lompatan logika yang dipraktikkan oleh pemerintah, yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran, namun telah mengambil jalur non-yudisial, sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas.

“SETARA memandang cara kerja Tim PPHAM sengaja didesain untuk melahirkan aneka kontradiksi dan paradoks dalam diskursus dan gerakan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu,” papar Ismail.

1 2Laman berikutnya

Related Articles

Back to top button