Berita

Delapan Tahun Baru Mendapatkan Hasil

Ditunjuk sebagai desa lumbung pangan nasional, Belanti Siam masih terus berbenah agar dapat menghasilkan panen memuaskan. Selama ini, per satu hektare sawah bisa menghasilkan enam sampai sepuluh ton padi. Meski demikian, hambatan selalu ada. Terutama masalah air dan harga jual.

AGUS PRAMONO, Pulang Pisau

JAM di layar ponsel menunjukkan pukul 09.23 WIB. Saya (penulis) sudah meninggalkan Kota Pulang Pisau. Kurang lebih 21 kilometer menuju Kota Kuala Kapuas. Ada pertigaan jalan menuju Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu. Persis di pertigaan itu saya menepikan sepeda motor lalu turun. Saya ingin memastikan apakah benar jalan tersebut merupakan jalan menuju Desa Belanti Siam. Saya pun bertanya ke perempuan paruh baya yang duduk sambil memangku balita laki-laki di warung gorengan.

“Bu, jalan ke Belanti Siam ke sana ya,” tanya saya sambil menunjuk jalan beraspal lurus itu. Perempuan itu beranjak berdiri, melangkahkan kaki mendekati aspal, lalu menjawab tanpa ragu. “Lurus ikuti aspal saja,” jawabnya sambil memicingkan mata lantaran silau oleh pancaran sinar matahari.

Perjalanan ke pelosok Pulang Pisau ini memakan waktu kurang lebih 90 menit. Pohon-pohon karet dan kelapa sawit berdiri di sisi kanan dan kiri. Daunnya melambai-lambai ditiup angin. Pemandangan berubah ketika memasuki desa yang sudah masuk wilayah Kecamatan Maliku. Hamparan sawah begitu memanjakan mata. Padi sudah mulai menguning. Tak lama lagi bisa dipanen. Terlihat beberapa petani sedang mengusir burung-burung kecil yang berusaha mencuri bulir-bulir padi.

https://kalteng.co https://kalteng.cohttps://kalteng.cohttps://kalteng.co

Kecamatan Maliku juga termasuk daerah penghasil beras. Ada 1.557 hektare lahan produktif. Setengah jam perjalanan, gapura selamat datang di Kecamatan Pandih Batu terlihat jelas. Meski catnya sudah ada yang memudar. Pemandangan serupa terlihat sepanjang perjalanan menuju Desa Belanti Siam. Kanan kiri berupa hamparan padi. Beberapa petak sawah sudah mulai dipanen dengan cara modern, yakni dengan menggunakan mesin pemanen padi. Orang-orang di sana menyebutnya mesin combine.

Akhirnya sampai juga di Desa Belanti Siam. Sesuai petunjuk spidometer, jarak dari pusat Kota Pulang Pisau ke Desa Belanti Siam yakni 62 kilometer. Saya langsung berhenti di depan rumah Kepala Desa Belanti Siam, Amin Arifin. Kebetulan sedang nongkrong bersama tiga orang warga, di bawah pohon rindang tepat samping kiri rumahnya.

Desa ini dahulunya berwajahkan hutan belantara. Pada 1983 lalu, ratusan bahkan ribuan orang dari Pulau Jawa bertransmigrasi. Membabat hutan. Membuat petak-petak sawah. Perjuangan berat yang dilakukan membuahkan hasil. Di desa yang berpenduduk 2.484 jiwa itu, hutan disulap menjadi persawahan seluas 1.687 hektare. 563 hektare lahan sisanya masih belum produktif. Berdasarkan data, Kecamatan Pandih Batu memiliki 6.943 hektare sawah yang tersebar di 16 desa. 

“Kemajuan Desa Belanti Siam ini berkat keuletan warganya. Tidak kenal menyerah. Puluhan tahun merintis penuh peluh. Sabar hidup dalam serbakekurangan,” ujar Kepala Desa Belanti Siam, Amin Arifin merendah.

“Dulu oyek panganane (dulu nasi oyek makannya, red),” tambahnya.

Padi yang diolah menjadi beras memiliki merek dagang beras Belanti Siam. Sudah dipasarkan di 14 kabupaten/kota se-Kalteng. Bahkan sampai ke beberapa daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel). Di Desa Belanti Siam, jenis padi unggulan adalah Hibrida Supadi. Satu hektare bisa menghasilkan enam sampai sepuluh ton padi. “Di sini berasnya enak. Tak kalah dengan daerah lain, meski jenis padinya sama. Beras yang keluar dari Desa Belanti Siam dijual dengan harga Rp9 ribu/kilogram,” ungkapnya.

Kendala yang dialami petani datang kala musim kemarau panjang. Kemungkinan gagal panen lebih besar.

“Kenapa? Habis tanah kering, pecah. Mau dikasih air, enggak ada air. Naiklah keasaman,” beber Amin yang baru dilantik jadi kepala desa Oktober 2019 lalu.

“Masak mau dijadikan food estate, tapi masih mengenal gagal panen,” sindir bapak dua anak ini.

Sementara itu, Ketua Gapoktan Mandi Bersama Desa Belanti Siam, Slamet menceritakan sepenggal kisah perjuangan para petani yang merintis dari awal kedatangannya tahun 1983. Sebagai waga transmigrasi, diberi jatah sembako dari pemerintah. Selama 1,5 tahun. Meski demikian, kadar keasaman tanah di wilayah itu luar biasa. Ditanam padi gak pernah ada hasil. Sampai-sampai ada yang putus asa. Lalu merantau ke daerah lain. Mulai dari menjadi kuli bangunan sampai bekerja sebagai penambang emas.

Dulu mencoba menanam bibit lokal. Hanya bisa panen satu kali dalam setahun. Prosesnya ada empat. Ditebang pohonnya, dirambat, dilacak, lalu ditanam.

“Kerja tiap hari, hujan panas, enggak ada hasil. Enggak setahun dua tahun, tapi bertahun-tahun,” kata bapak dua anak ini.

Akhirnya, ada semangat untuk membangun kembali lahan tidur. Menebang hutan. Membuang gambut. Membuat saluran irigasi. Lebarnya sekitar 1,5 meter. Kades pertama Belanti Siam, Slamet Riyadi, mulai menggagas metode menabur padi.

Akhirnya tumbuh. Ada hasil yang bisa dipanen. Keasaman bisa diantisipasi dengan kapur. Asa pemuda-pemudi desa tumbuh kembali. Enggak mau merantau meninggalkan tanah transmigrasinya. Memilih mengurus agar hamparan sawah bisa ditumbuhi padi dan panen.

“Tanah sini tidak bagus, tapi karena keuletan warga di sini, akhirnya bisa sampai seperti ini,” ungkapnya.

Penulis pun mendatangi salah satu petani yang kebetulan sedang menunggu selesai panen. Namanya Manto. Kulitnya yang berwarna sawo matang tampak keriput. Namun, masih kuat untuk berjalan. Badannya masih tegap. Tidak membungkuk saat berjalan. Saya tak pernah mengulangi kata-kata yang saya lontarkan saat ngobrol. Saat saya tanya usianya, ternyata sudah 78 tahun.

Manto menunggu di jalan tanah. Samping mobil pikap yang bersiap mengangkut padi, sambil melihat kinerja combine buatan Jerman itu.

“Sekarang enak. Satu hektare sawah, enggak sampai satu jam selesai dipanen,” ungkap  pria yang dikaruniai tiga anak dan enam cucu ini.

Ia memiliki dua hektare lahan yang diterima ketika awal menginjakkan kaki di Desa Belanti Siam.

Pria asli Boyolali ini bersyukur, apa yang dirintis oleh warga transmigran di tempat itu membuahkan hasil. Dia pernah frustasi ketika menghadapi kontur tanah gambut. Beda jauh dengan tanah yang ada di tempat kelahirannya. 

“Setelah membuka lahan, delapan tahun baru ada hasil. Itu pun sulitnya minta ampun pas menjual padinya. Kualitasnya padinya jelek saat itu. Modal sama hasil panen tak ketemu (tidak untung, red),” ungkapnya.

Kendala yang dialami petani adalah masalah air. Selain itu, juga harga jual padi kepada tengkulak. Untuk masalah air, pasang surut air Sungai Kahayan melalui saluran primer sangat mengganggu. Jika berencana membuang air, eh malah masuk. Jika membutuhkan air, sebaliknya, air di saluran primer sedang surut. Untungnya, sekarang ada paralon yang mengatur keluar masuk air.

“Petani di sini diatur sama air,” sebutnya.

Untuk mengatasi keasaman, para petani sudah mengantisipasinya dengan memberikan kapur. Untuk satu hektare minimal membutuhkan 800 kilogram atau 8 kwintal kapur, dengan harga Rp95 ribu per kwintal. Untuk pupuk Hibrida, bisa menghabisakan 9  kwintal, dengan harga Rp260 ribu per kwintal.

Hampir semua petani di Desa Belanti Siam biasa menjual padi ke tengkulak. Harganya Rp5.000 per kilogram. Jika panen raya, harga jual justru merosot jadi Rp4.500 per kilogram.

“Bisa harga enam ribu, tapi sistem utang,” ucapnya sambil tertawa lepas. (*/ce)

Related Articles

Back to top button