JAKARTA–Gugatan perselisihan hasil pilkada (PHP) 2020 sudah tembus angka tiga digit. Hingga pukul 17.00 WIB kemarin (21/12), Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima 102 permohonan.
Komisioner KPU RI Hasyim Asyari menjelaskan, dari pemantauan KPU, gugatan didominasi paslon di level pemilihan bupati (pilbup) sebanyak 90 permohonan. ”(Ditambah) 1 pilgub dan 11 pilwali,” ujarnya kemarin. Satu-satunya pemohon pilgub yang sudah mengajukan gugatan adalah paslon nomor urut 1 dari pilkada Provinsi Bengkulu Agusrin Maryono-Imron Rosyadi.
Kemudian, dari segi sebaran, data KPU mencatat daerah di wilayah Sumatera Utara menjadi yang teratas dengan sebelas PHP. Kemudian diikuti Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara dengan masing-masing delapan perkara. Di Jawa Timur sendiri sudah masuk dua gugatan. Yakni sengketa yang diajukan pasangan Machfud Arifin-Mujiaman di pilwali Surabaya dan Yusuf Widyatmoko-Muhammad Riza Aziziy terkait hasil pilbup Banyuwangi.
Hasyim menyebutkan, jajaran KPU sudah siap dengan banyaknya gugatan yang masuk. Berbagai persiapan sudah dilakukan. Selain pengarahan, proses pengumpulan dokumen juga tengah berjalan. ”KPU akan mengoordinasi penyiapan jawaban,” imbuhnya.
Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar menambahkan, Bawaslu juga mulai menyiapkan diri menghadapi proses tersebut. Dia menjelaskan, ada sejumlah dokumen yang krusial untuk disiapkan terkait hasil pengawasan. Di antaranya surat keterangan pencegahan yang sudah pernah dikirimkan, laporan hasil pengawasan (form A) yang pernah dikeluarkan, dan data form C hasil pilkada.
”Di situ kita mempertanggungjawabkan hasil keringat kita semua,” ujar Fritz kemarin. Dia juga mengingatkan agar seluruh divisi bekerja sama dengan saling berbagi data guna menghadapi sidang perselisihan di MK.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai, meski jumlah gugatan yang masuk mencapai ratusan, pihaknya memprediksi tidak banyak perkara yang akan berlanjut hingga sidang pembuktian. Pasalnya, MK masih mengatur ketentuan terkait ambang batas selisih suara. Hal tersebut masih menjadi salah satu pertimbangan dalam menilai perkara. ”Kalau kayak (hasil pilgub, Red) Kalsel itu potensial karena selisih suara sedikit,” ujarnya kepada Jawa Pos tadi malam.
Meski demikian, pihaknya berharap nanti MK tidak semata-mata menjadikan selisih suara sebagai pertimbangan utama. Namun perlu juga melihat ada tidaknya unsur pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). ”Karena bisa jadi, karena pelanggaran TSM, selisih suaranya jadi besar,” imbuhnya. (far/c9/bay)