Ini Daftar Pasal RKUHAP yang Disebut-sebut Hambat Penanganan Korupsi
KALTENG.CO-Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi undang-undang menuai sorotan tajam.
Meskipun telah mencapai kesepakatan dalam Pembicaraan Tingkat I pada Kamis (13/11/2025) dan dijadwalkan akan disahkan dalam Rapat Paripurna (Pembicaraan Tingkat II) pada Selasa (18/11/2025), proses ini diwarnai kritik serius dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.
Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurizal, memastikan bahwa RUU ini sudah siap dan “udah jadi” setelah melalui pembahasan tingkat I. Namun, narasi optimisme tersebut berbanding terbalik dengan kekhawatiran publik mengenai proses dan substansi RKUHAP yang dinilai berpotensi melemahkan perlindungan hak warga negara dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.
Manipulasi Partisipasi Publik: Mengikis Kepercayaan Legislasi
Salah satu kritik fundamental yang dilontarkan adalah dugaan adanya manipulasi partisipasi publik dalam proses legislasi. Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arief Maulana, secara tegas mendesak DPR dan Pemerintah untuk menghentikan praktik tersebut.
“Kami mengingatkan kepada DPR RI dan juga pemerintah untuk berhenti melakukan praktik manipulasi partisipasi warga negara, bahkan juga pencatutan-pencatutan nama masyarakat sipil, juga kebohongan yang dilakukan oleh DPR RI mengatasnamakan masukan warga, padahal tidak demikian adanya,” ujar Arief Maulana.
Kritik ini menekankan adanya persoalan formil yang sangat serius, mulai dari minimnya akses publik terhadap informasi hingga tidak adanya ruang masukan yang memadai. Menurut Arief, proses yang bermasalah ini hanya akan semakin mengikis kepercayaan publik terhadap institusi legislatif dan eksekutif.
Arief mengingatkan bahwa penyusunan undang-undang, khususnya Hukum Acara Pidana, harus dipastikan untuk melindungi kepentingan warga negara, bukan untuk melindungi kepentingan penguasa, aparat, atau institusi penegak hukum tertentu.
Sembilan Poin Krusial: Ancaman Pelemahan Pemberantasan Korupsi
Selain masalah formil, substansi RKUHAP disorot karena memuat sejumlah pasal yang secara spesifik dinilai berpotensi melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menghambat efektivitas penanganan perkara korupsi.
Berikut adalah sembilan catatan kritis Koalisi Masyarakat Sipil yang menggarisbawahi potensi pelemahan tersebut:
1. Pertentangan Norma Peralihan (Lex Specialis vs Lex Posterior)
Pasal 329 dan 330 RKUHAP mengedepankan asas lex posterior derogat legi priori (undang-undang yang baru menyingkirkan yang lama), yang secara langsung bertentangan dengan prinsip kekhususan (lex specialis) yang dimiliki oleh UU KPK dan UU Tipikor. Hal ini dikhawatirkan dapat menyingkirkan ketentuan acara pidana khusus dalam pemberantasan korupsi.
2. Pembatasan Penggunaan Hukum Acara KPK
Pasal 327 RKUHAP membatasi KPK hanya menggunakan KUHAP lama (UU No. 8/1981) untuk menyelesaikan perkara yang sedang berjalan. Ketentuan ini mengabaikan hukum acara khusus yang merupakan senjata utama KPK dalam penanganan kasus korupsi.
3. Penyempitan Definisi Penyelidikan
Definisi penyelidikan dalam Pasal 1 angka 8 RKUHAP tidak lagi mencerminkan standar KPK yang mewajibkan bukti permulaan cukup sejak tahap penyelidikan. Perubahan ini berisiko menghambat efektivitas kerja awal KPK dan proses penentuan kasus.
4. Pembatasan Upaya Paksa dan Birokratisasi Koordinasi
RKUHAP membatasi upaya paksa hanya dapat dilakukan terhadap tersangka/terdakwa, dan tidak menjangkau saksi atau pihak lain yang seringkali krusial dalam kasus korupsi. Selain itu, kewajiban koordinasi dengan Polri dalam berbagai tahapan dianggap mengancam independensi kerja KPK.
5. Pelemahan Mekanisme Penyadapan
RKUHAP mengatur penyadapan hanya di tingkat penyidikan dan menyerahkannya ke undang-undang khusus, padahal KPK memiliki wewenang penyadapan sejak tahap penyelidikan. Ketentuan ini berpotensi menghambat Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang sangat bergantung pada penyadapan dini.
6. Potensi Penundaan Melalui Praperadilan
Pasal 154 menyatakan bahwa sidang pokok perkara tidak dapat dimulai sebelum proses praperadilan selesai. Hal ini berisiko dijadikan taktik penundaan yang disengaja oleh tersangka korupsi untuk mengulur waktu penanganan perkara.
7. Ketidakjelasan Kewenangan Perkara Koneksitas
RKUHAP dinilai belum mengakomodasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan kewenangan KPK menangani korupsi oleh aparat militer. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam perkara yang melibatkan unsur militer dan sipil (koneksitas).
8. Tumpang Tindih Perlindungan Saksi dan Korban
RKUHAP hanya mengakui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai pelaksana perlindungan, mengabaikan kewenangan KPK yang sudah diatur dalam UU KPK. Hal ini berpotensi menimbulkan hambatan birokrasi dan keterlambatan dalam memberikan perlindungan.
9. Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan Terancam
Pasal 8 ayat (3) mewajibkan penyerahan berkas perkara melalui penyidik Polri, tanpa pengecualian bagi KPK. Ketentuan ini berpotensi mengganggu independensi, membuka celah intervensi, dan melemahkan kecepatan kerja KPK dalam menindak kasus.
Legislasi Cepat di Tengah Badai Kritik
Pengesahan RKUHAP yang dipercepat ini, di tengah minimnya akses dan kritik keras substansial, menciptakan kekhawatiran serius bahwa proses legislasi telah mengabaikan prinsip akuntabilitas dan perlindungan hak asasi manusia.
Masyarakat sipil mendesak DPR dan Pemerintah untuk meninjau kembali pasal-pasal bermasalah agar RKUHAP benar-benar menjadi instrumen hukum yang memperkuat keadilan, bukan melanggengkan kepentingan penguasa. (*/tur)




