BeritaUtama

Investasi Hanya Menguntungkan Perusahaan

SUKAMARA, Kalteng.co -Tuntutan Aksi Bela Dayak Laman Baru terhadap PT Sumber Mahardika Graha (SMG) terkait kewajiban program kemitraan (plasma) kepada masyarakat Desa Laman Baru dan Desa Ajang, Kabupaten Sukamara masih berlanjut. Masyarakat yang tergabung dalam Aksi Bela Dayak Laman Baru menuntut agar pihak perusahaan PT SMG merealisasikan program plasma 20 persen di dalam HGU kebun inti, dan menuntut perusahaan agar area kebun yang masuk dalam wilayah Desa Laman Baru di­serahkan ke masyarakat.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Aksi Bela Dayak Laman Baru Wendy Loentan melalui keterangan pers yang disampaikan kepada Kalteng Pos.
Menurutnya, Aksi Bela Dayak Laman Baru ini merupakan aksi yang sudah lama berlangsung, bahkan sudah puluhan kali selama hampir belasan tahun terakhir. Sebab, semenjak pertama kali beroperasi di Kabupaten Sukamara, perusahaan (PT SMG, red) belum memiliki plasma sebagaimana yang menjadi kewajiban perusahaan.
“Apa kontribusi PT SMG untuk desa-desa sekitar? Ribuan hektare tanah dan hutan leluhur kami diambil, dijadikan kebun kelapa sawit, tapi tidak ada satu batang pohon sawit pun untuk masyarakat di setiap desa. Investasi PT SMG hanya untuk menguntungkan perusahaan. Masyarakat justru tidak mendapatkan manfaat,” ujar Wendy saat dikonfirmasi awak media melalui pesan singkat WhatsApp, Selasa (10/11).
Wendy menjelaskan, pihak PT SMG semestinya tidak mengabaikan hak masyarakat terkait penyertaan kebun plasma 20 persen, yang merupakan ketentuan yang telah diatur dan wajib dipenuhi setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit.
“Termasuk ganti rugi lahan yang menurut masyarakat Desa Laman Baru adalah seluas 181 hektare. Sejak rapat mediasi tahun 2015 lalu hingga saat ini belum terselesaikan,” jelasnya.
Ditambahkannya, masyarakat pun menilai bahwa operasional PT SMG selama ini tidak sah, karena proses ganti rugi lahan belum diselesaikan. Meski demikian, PT SMG tetap menggarap kebun kelapa sawit di atas lahan warga. “Apalagi peruntukan kebun yang digarap itu bukanlah untuk plasma, melainkan kebun inti dari PT SMG,” imbuhnya.
Dihubungi terpisah, Manajer CSR PT SMG Alex Gunawan mengatakan, terhadap tuntutan warga dua desa itu, pihaknya tetap mengacu pada kesepakatan pada Sabtu (7/11) lalu, yakni membentuk tim investigasi bersama yang beranggotakan perwakilan perusahaan dan perwakilan warga, dan difasilitasi oleh musyawarah pimpinan Kecamatan Permata Kecubung
“Tadi pagi kami sudah menghadap Bapak Didik selaku Camat Permata Kecubung. Kami sudah menyiapkan perwakilan, di-SK-kan oleh GM PT SMG. Selanjutnya menunggu perwakilan dari warga,” tuturnya.
Para pegiat lingkungan juga menyoroti konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT SMG ini. Menurut Habibi, salah satu aktivis lingkungan dari Save Our Borneo ( SOB), konflik agraria atau konflik lahan antara masyarakat dengan PBS seperti yang terjadi di Desa Laman Baru dan Desa Ajang, Kabupaten Sukamara sudah merupakan hal umum yang terjadi di Kalteng.
“Selain konflik yang terjadi antara warga Desa Laman Baru dan Desa Ajang dengan PT SMG di Kabupaten Sukamara ini, kami juga mencatat konflik lahan yang masih hangat terjadi di daerah lain, yaitu konflik lahan antara komunitas adat Laman Kinipan dengan PT SML di Kabupaten Lamandau dan konflik antara warga Desa Penyang dengan PT HMBP di Kabupaten Kotawaringin Timur,” terang Habibi saat dibincangi awak media, Selasa (10/11).
Dikatakan Habibi, sah-sah saja apabila masyarakat menuntut ada­nya ganti rugi lahan dan kebun plasma dari pihak perusahaan. Hal itu menyangkut kepentingan ruang hidup dan ruang kelola bagi masyarakat. Ditambahkannya lagi, ketika jumlah penduduk Provinsi Kalteng makin bertambah, maka kebutuhan akan ruang hidup di masa yang akan datang juga ikut bertambah.
“Jika lahan-lahan yang ada di desa-desa yang menjadi ruang hi­dup masyarakat dikuasai semuanya oleh perusahaan, di mana lagi masyarakat hidup,” ucap Habibi.
Ia menjelaskan bahwa pihaknya sudah pernah beberapa kali melakukan riset terkait persoalan ganti rugi lahan dan kebun plasma di Kalimantan Tengah. Dari hasil riset tersebut diketahui bahwa ganti rugi lahan maupun kebun plasma tidak menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan ekonomi masyarakat.
Bahkan menurutnya, di beberapa tempat justru menjadi permasalahan, terutama terkait persoalan harga nominal ganti rugi lahan milik warga lokal yang dijadikan lahan perkebunan sawit.
“Nominal ganti rugi tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat,” terang Habibi seraya menambahkan bahwa hal yang sama terjadi pada ganti rugi petani plasma.
Selain kerawanan sosial ekonomi, masalah dampak lingkungan akibat adanya perkebunan sawit, menurut Habibi, juga tidak kalah penting untuk diperhatikan.
Banyak perkebunan sawit di Kalteng ini yang mengalihfungsikan hutan dan lahan menjadi kawasan perkebunan sawit. Menurutnya hal itu justru mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan dan berpe­ngaruh pada perubahan iklim.
“Sebagaimana yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah daerah di Kalteng dilanda banjir besar. Salah satu faktor utama penyebabnya adalah karena perubahan fungsi hutan dan lahan menjadi kawasan perkebunan” ujar pria yang bergabung dalam aktivis lingkungan ini.
Untuk mengatasi hal ini, lanjut Habibi, perlu dan penting adanya kebijakan keterlibatan negara atau pemerintah untuk ikut campur ta­ngan mengatasi konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan.
Menurut pengamatannya, selama ini negara atau dalam hal ini pemerintah daerah maupun pusat, setelah mengeluarkan izin untuk beroperasinya suatu perusahaan perkebunan , langsung berlaku pasif. Ia menilai selama ini tidak ada kebijakan dari pemerintah melakukan perlindungan terkait hak-hak hidup masyarakat yang tinggal di area sekitar perusahaan perkebunan sawit.
Karena itu, menurutnya perlu ada kebijakan negara untuk pembelaan dan perlindungan terhadap hak-hak hidup warga lokal, terutama yang menyangkut persoalan ganti rugi lahan dengan pihak perusahaan perkebunan. (lan/sja/ce/ala)

Related Articles

Back to top button