KALTENG.CO-Biasanya bersikap manis, tapi ketika anak tetiba bilang mama atau papa jahat. Nah, kalau begitu, sikap parents harus bagaimana? Marah? Atau justru dibiarkan saja? Mari simak penjelasan di bawah ini.
Di luar lagi hujan. Mama bilang ke si kecil, yang lagi usia toddler 3–5 tahun, jangan main hujan-hujan. Soalnya, kondisi si kecil lagi demam. Eh, malah mama dibilang jahat. Padahal, tujuan mama itu baik. Tapi, kok respons anak begitu? Jangan sedih, mama.
Menurut Grace Eugenia Sameve, psikolog yang juga principal child psychologist Tentang Anak, biasanya anak-anak mengucapkan kata tersebut karena ada pemicunya. Sangat jarang, anak tiba-tiba secara random mengatakan tidak suka orang tuanya atau orang tuanya jahat.
’’Kapan perkataan itu terucap, biasanya lagi dilarang atau berbeda pendapat dengan orang tua. Misal, anak minta apa tapi tidak dikasih,” tuturnya.
Sebelum telanjur baper (terbawa perasaan), penting mengingatkan diri bahwa pemahaman anak akan konsep abstrak seperti jahat atau benci umumnya berbeda dengan pemahaman orang dewasa atau orang tua. Biasanya yang tidak disukai anak adalah perilaku atau keputusan orang tua. Bukan sosok orang tua.
Namun, bukan berarti ada konteks atau pemicu, orang tua perlu ’’membiarkan’’ anak. Lalu, bilang tidak apa-apa karena ’’mereka masih anak-anak ya’’. Lantas, bagaimana ya mam? Grace menyebutkan, ketika ucapan menyakitkan itu dilontarkan anak, coba tenangkan diri sebelum merespons. Take a breath.
Jika dirasa perlu, parents bisa pindah dulu ke tempat yang lebih tenang untuk mengelola emosi yang muncul. Hal itu penting. Sebab, jika parents merespons reaktif berdasar emosi, biasanya situasi akan semakin tidak menyenangkan. ’’Tak jarang, banyak kata menyakitkan yang tidak dimaksud orang tua malah dilontarkan ke anak,” paparnya.
Hal itu bahkan dapat memengaruhi kualitas orang tua dan anak serta tidak membuat anak berubah. Anak akan belajar bahwa orang tuanya juga mengucapkan kata-kata yang menyakitkan saat marah.
Setelah parents lebih tenang, coba kenali situasi pemicunya. Lalu, parents bantu anak untuk mengenali emosinya. Seperti dengan bertutur, ’’Adik lagi marah ya?”. Berikan batasan juga ke anak. Misal, wajar adik marah, tapi bukan berarti perlu atau dapat melampiaskannya dengan mengatakan hal yang menyakitkan.
Sekarang, tahu tidak parents, emosi anak itu berkembang sejak kapan? Sejak lahir, anak punya kapasitas untuk mengalami emosi-emosi dasar. Masa iya?
Grace menerangkan, sejak lahir, anak dapat mengenali pengalaman yang menyenangkan dan yang tidak, serta yang membuatnya nyaman dan tidak. Biasanya hal itu ditunjukkan dengan respons tangisan atau senyuman. Misalnya, anak menangis saat lapar atau lelah. Saat diajak bercanda, bayi pun tidak jarang merespons. Semakin besar, pengalaman emosi akan semakin kaya atau beragam.
’’Anak juga lebih mampu mengelola dan mengungkapkan pengalaman emosi dengan efektif. Terutama dengan dukungan yang sesuai dari orang tua,” ungkapnya.
KETIKA PARENTS MELAWAN, APA EFEKNYA, YA?
Mama telanjur baper. Alhasil, mama merespons dengan ucapan: adik juga jahat, mama benci adik juga. Waduh, ada efeknya tidak, ya?
1. Tidak menyelesaikan masalah. Justru bisa menimbulkan masalah baru. Misalnya, anak bilang, mama jahat. Mama nyahut, iya adik jahat. Banyak kata yang justru menyakitkan nanti.
2. Kualitas hubungan anak dengan orang tua tidak bagus.
3. Menunjukkan hal yang sama. Misalnya, mama bilang juga jahat ke anak. Anak berpikir, mama saja boleh bilang begitu. Masak anak tidak boleh. (Dikutip dari JawaPos.com/tur)