KALTENG.CO-Kementerian Sosial (Kemensos) telah menyerahkan berkas usulan 40 nama tokoh untuk dipertimbangkan sebagai Pahlawan Nasional kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon. Di antara nama-nama yang diusulkan, terdapat sosok yang paling menyita perhatian publik: Mantan Presiden RI ke-2, HM Soeharto.
Usulan ini sontak menimbulkan polemik dan pro-kontra di tengah masyarakat. Partai Golkar secara terang-terangan memberikan dukungan penuh, sementara para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan aktivis kemanusiaan lantang menolak usulan gelar tersebut, merujuk pada isu-isu pelanggaran HAM dan korupsi di masa Orde Baru.
Menguak Fakta Hukum: Pembelaan dari Advokat Senior O.C. Kaligis
Menanggapi gejolak ini, Advokat senior, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.H., angkat bicara. Sebagai mantan kuasa hukum mendiang Soeharto, Kaligis membeberkan catatan dan fakta hukum yang ia peroleh selama membela kliennya.
1. Narasi Korupsi dan Rekening Luar Negeri: Hoax atau Fakta?
Isu korupsi dan kepemilikan uang di bank-bank luar negeri yang dituduhkan kepada Soeharto, terutama berdasarkan laporan Majalah Time, dibantah keras oleh Kaligis.
“Narasi Majalah Time itu adalah Hoax alias Fitnah,” tegas pengacara yang dijuluki ‘Manusia Sejuta Perkara’ ini melalui siaran pers yang diterima redaksi Kalteng.co, Kamis (30/10/2025).
Untuk membuktikan kebenaran ini, Soeharto bahkan memberikan kuasa terbuka kepada Menteri Kehakiman dan HAM, Prof. Muladi, dan Jaksa Agung RI, Andi Ghalib, untuk melakukan pelacakan ke Swiss, Austria, dan berbagai negara lainnya.
- Hasil Pelacakan: Uang Soeharto di luar negeri dinyatakan Nihil.
- Gugatan Perdata: Dalam gugatan perdata Soeharto melawan Majalah Time, majalah tersebut gagal total memberikan satu sen pun bukti kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara. Uang Soeharto di luar negeri benar-benar nihil.
2. Pembangunan Nasional di Era Soeharto (Repelita)
Menurut Kaligis, di awal masa tugasnya sebagai Presiden, tiga Partai Orde Baru (Golkar, PDIP, dan PPP) semuanya mendukung Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang digagas Soeharto. Lebih lanjut, dunia internasional pun menghargai kepemimpinan beliau, terbukti dari 45 bintang penghargaan/bintang jasa yang diterimanya dari berbagai negara.
Selama memimpin, Indonesia telah melalui Enam Repelita yang terstruktur dan terarah, dengan fokus pada kesejahteraan rakyat.
| Repelita | Periode | Fokus dan Target Utama |
| Repelita I | 1969-1974 | Meningkatkan taraf hidup, perbaikan prasarana, sandang pangan, perluasan lapangan kerja. |
| Repelita II | 1974-1979 | Peningkatan pembangunan di luar Jawa-Bali-Madura (Transmigrasi), pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun. |
| Repelita III | 1979-1984 | Trilogi Pembangunan: Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan. |
| Repelita IV | 1984-1989 | Penciptaan lapangan kerja baru dan industri. |
Semua rencana ini, kata Kaligis, dibicarakan dengan para menteri terkait dan diterima di setiap pidato pertanggungjawaban Presiden menjelang 17 Agustus.
3. Tuduhan Penyalahgunaan Uang Yayasan
Mengenai tuduhan penyalahgunaan uang-uang Yayasan yang dibentuk Soeharto, Kaligis menyatakan tuduhan itu tidak berdasar. Eksistensi Yayasan-Yayasan tersebut bahkan dibenarkan oleh DPR RI.
Yayasan-Yayasan ini, menurutnya, telah menghasilkan aksi-aksi sosial nyata, seperti:
- Memberi beasiswa di dunia pendidikan.
- Menyumbang kurang lebih seribu mesjid.
- Mendirikan rumah-rumah sakit (RS. Jantung Harapan Kita, RS. Kanker Indonesia, RS. Cacat Veteran, dll.).
4. Isu Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Isu pelanggaran HAM, termasuk Penembakan Misterius (1982-1985), Kasus Talangsari (1980), dan Kerusuhan Mei (1998), menjadi salah satu alasan utama penolakan gelar Pahlawan Nasional.
Kaligis berpendapat bahwa selama ini tuduhan pelanggaran HAM terhadap Soeharto hanyalah narasi politik tanpa bukti dimulainya penyidikan Pro Justitia.
“Seandainya memang Pak Harto melakukan pelanggaran Hak Azasi Manusia, seharusnya Penyidik Hak Azasi Manusia telah melakukan penyelidikan/ penyidikan Pro Justitia terhadap Pak Harto,” jelasnya.
Bahkan, saat Kaligis mengunjungi Organisasi HAM Dunia di Strasbourg dan Jenewa untuk kepentingan kasus lain, ia menyatakan sama sekali tidak terdengar narasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Soeharto.
Kesimpulan O.C. Kaligis
Mendasarkan pada fakta hukum dan jejak pembangunan selama Orde Baru, O.C. Kaligis berkesimpulan:
“Sebagai bangsa Indonesia yang beradab, tidak pantas memfitnah Pak Harto terus menerus. Atas dasar uraian saya di atas, saya berkesimpulan, sudah sangat tepat Pak Harto diberi gelar Pahlawan Nasional.”
Bagaimana menurut Anda? Apakah fakta-fakta hukum yang disampaikan oleh O.C. Kaligis cukup kuat untuk menepis narasi negatif dan mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada HM Soeharto? (*/tur)




