BeritaHIBURANLife StyleNASIONALUtama

Krisis Iklim: Lebih dari Sekadar Lingkungan, Ini Soal Politik dan Keadilan

JAKARTA, Kalteng.co-Isu krisis iklim semakin mendesak. Namun, pembahasan mengenai isu lingkungan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik. Hal ini ditegaskan oleh akademisi Bivitri Susanti dan Feri Amsari  dalam acara penutupan Green Press Community yang digelar Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) di M. Bloc, Jakarta pada Sabtu (23/11/2024) malam.

Membahas krisis iklim tidak bisa dilepaskan dari kaitannya dengan situasi politik. Sebab isu lingkungan selalu erat berkaitan dengan kebijakan yang diambil pemerintah.

Pun, dalam bahasa Indonesia, kata “policy” diterjemahkan sebagai “kebijakan.” Padahal jika  dirunut asal katanya dalam berbagai bahasa seperti Jerman, Belanda, hingga Arab, “policy” selalu dekat dengan politik. Terlihat bahwa kebijakan adalah produk dari proses politik.

Seorang perempuan akademisi yang namanya semakin mencuat dalam film documenter Dirty Vote, Bivitri Susanti mengurai kaitan policy, politik dan isu lingkungan hidup tersebut di atas panggung penutupan acara Green Press Community yang digelar Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) di M. Bloc, Jakarta pada Sabtu (23/11/2024) malam.

“Saya mau mengaitkan pidato saya dengan situasi politik karena soal krisis iklim soal sesuatu yang kaitanya dengan lingkungan mau tidak mau harus kita kaitkan dengan policy,” katanya.

Dikatakannya yang membuat policy adalah pemerintah. Policy dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi kebijakan. Menurutnya, policy itu dekat dengan politik karena menurut ahli bahasa itu adalah hasil dari sebuah proses politik. Baik itu dalam bahasa Jerman, Belanda bahkan bahasa Arab.

“Hanya di Indonesia policy terjemahannya kebijakan. Kebijakan dekat dengan kata bijak tapi apakah kebijakan itu selalu bijak,” katanya.

Bivitri mengaku menolak menyebut kebijakan dan memilih menggunakan ketidakbijakan, misalnya     peraturan pemerintah untuk membagikan izin usaha tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) agama.

“Bijak tidak itu? Tidak bijak. Tapi itu semua terjadi karena banyak sekali pengambil kebijakan, pengambil ketidakbijakan punya benturan kepentingan dan itulah yang menjadi soal di negara ini. Dan jangan salah banyak sekali ketidakbijakan itu yang bahkan dibuatnya dengan sengaja,” katanya.

Dia kemudian menyebut bahwa proyek-proyek strategis nasional misalnya terkait tambang nikel, batubara dan lainnya menjadi salah satu masalah besar di negara ini yang menghancurkan lingkungan. “Karena banyak sekali tiba-tiba masuk ke dalam wadah yang namanya proyek strategis nasional dan artinya dia akan mendapat segala kemudahan dan semuanya dilakukan penuh dengan benturan kepentingan,” katanya.

Menurutnya, semua persoalan yang hari-hari ini dihadapi memang tidak mudah untuk diurai. Dia kemudian menceritakan persoalan yang terjadi di Negara Nauru, sebuah negara terkecil di Pasifik Selatan. Dia selalu menceritakan kisah negara ini ketika membicarakan iklim karena negara yang dulu sangat kaya dengan fosfat, pemerintahnya punya hotel dan warganya dikirim dengan beasiswa untuk menempuh Pendidikan di negara-negara maju, punya properti di London, bangkrut.

1 2 3Laman berikutnya

Related Articles

Back to top button