KALTENG.CO-Saat bermain dengan si-kecil, terkadang orang tua sangat emosional. Rasa gemas terhadap polah tingkah lucunya, membuat ada rasa ingin menjahilinya.
Misalnya, dengan berpura-pura menjanjikan sesuatu atau memberikan kejutan yang diharap-harapkan, ternyata cuma prank atau bohongan.
Tujuan ngajahili atau nge-prank itu, sebenarnya sih tidak serius. Hanya untuk lucu-lucuan atau menghibur si-kecil, tetapi sebenarnya dampaknya bisa sangat serius bagi perkembangan psikologis anak.
Simak penjelasannya berikut!
Tak sedikit orang tua (ortu) yang menjahili atau nge-prank anak dengan niat having fun bareng si kecil. Namun, ada batasan yang mesti diperhatikan. Prank yang berlebihan justru bisa berdampak buruk bagi psikis dan perkembangan anak.
Trik tipuan atau prank bertujuan menghibur. Tak hanya menghibur pelaku, tetapi juga si penerima prank. Idealnya, prank ortu kepada anak bisa menjadi media untuk bonding time. Tapi sebaliknya, prank bisa merenggangkan hubungan ortu dan anak jika dilakukan berlebihan.
”Lakukan sesuai porsi. Jika prank sedikit mengagetkan, sejenak membuat kesal atau gemas, kemudian anak tertawa, tujuan prank tercapai. Kalau berlebihan, walaupun orang tua merespons dengan tertawa, anak akan tetap merasa sedih, marah, dan kesal,” ujar Cindy Adhianty Tupan SPsi MPsi.
Karena itu, ortu harus bisa memahami perasaan anak. Melukai perasaannya, walaupun sejenak, dapat melunturkan relasi dan rasa percaya anak. Sebagai orang tua, cobalah menempatkan diri pada posisi anak.
”Misalnya nih mengatakan bahwa ayah kecelakaan, ibu sakit keras, atau boneka kesayangannya telah dibuang. Nilai orang tua, boneka, hewan kesayangan atau bahkan permen cokelat begitu mahal bagi anak,” jelasnya.
Setiap anak memiliki ambang batas perasaan marah, sedih, kesal, dan cemas yang berbeda-beda. Terkadang orang tua sudah mengenali temperamen anak, tetapi melakukan prank yang membuat anak sangat marah di luar perkiraan.
”Jika hal itu terjadi, segera hentikan. Misalnya, meletakkan serangga plastik di tempat tidur sehingga anak sangat ketakutan atau marah. Apabila diteruskan, risiko anak mengalami gangguan kecemasan akan meningkat,” lanjut psikolog di Sanodoc Clinic Surabaya itu.
Tidak jarang, ortu justru sengaja merekam aksi nge-prank-nya. Reaksi anak yang dirasa lucu itu kemudian dibagikan ke media sosial sebagai konten hiburan. Menurut Cindy, hal semacam itu tidak sepatutnya dilakukan.
”Anak akan menangkap bahwa orang tua bukanlah sumber emotional support. Sebab, saat dia sedang memunculkan respons menangis, berteriak, atau kesal, ortunya justru hanya hadir sebagai videographer,” ungkapnya.
Sekalipun anak memberikan respons positif, lanjut dia, sebaiknya momen tersebut dinikmati bersama. Alih-alih asyik memvideokannya. Orang tua bisa memberikan pujian pada anak, tertawa bareng, hingga melakukan aktivitas tersebut bersama.
”Jika orang tua mengekspresikan perhatiannya dengan merekam, anak akan memahami jika ingin diperhatikan harus ’perform’ supaya divideo. Saat dewasa, anak cenderung mencari perhatian atau malah mengekspresikan perhatiannya dengan cara serupa, yaitu merekam, bukan betul-betul menikmati momen tersebut,” papar Cindy.